Sumber Daya Alam Penggerak Ekonomi

Senin, 28 November 2011

Sumber Daya Alam Penggerak Ekonomi

Kekayaan alam kita mencukupi, jumlah penduduk 240 juta orang (terbesar ke empat di dunia), dan posisi geoekonomi yang sangat strategis (di antara Benua Asia dan Australia, serta Samudera Pasifik dan Hindia). Sejatinya Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
Di tengah arus globalisasi serta tekanan multi krisis mondial (ekonomi, pangan, BBM, dan global warming), kini saatnya kita mengembangkan sistem ekonomi nasional. Tentunya yang mampu menciptakan kedaulatan pangan, energi, bahan sandang, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya.
 Secara simultan mengekspor barang dan jasa (goods and services) yang berdaya saing tinggi.  Atas dasar potensi pembangunan yang kita miliki dan dinamika lingkungan strategis global, maka sistem ekonomi nasional yang berdaya saing dan berdaulat itu paling mungkin diwujudkan melalui pembangunan berbasis SDA (Sumber Daya Alam) dengan menerapkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), serta  etos kerja unggul. 
Keunggulan Kompetitif
Sedikitnya ada enam alasan yang mendasari keyakinan tersebut. Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan alam beragam dan sangat besar. Sekadar contoh, jika kita mampu mengusahakan 500.000 ha tambak udang (40% dari potensi total) dengan produktivitas rata- rata dua ton per hektar per tahun.
Maka dapat dihasilkan 1 juta ton udang dengan devisa sekitar US$ 5 per tahun, setara dengan devisa dari total ekspor tekstil saat ini. Tenaga kerja yang dapat disediakan oleh aktivitas tambak udang ini sekitar tiga juta orang.
Lalu dari rumput laut, dengan mengusahakan 1 juta ha budidaya rumput laut (30% total potensi), dapat diproduksi sekitar 16 juta ton rumput laut kering per tahun. Bila kita ekspor 10 juta ton/tahun dengan harga sekarang US$ 1/kg, maka akan diperoleh devisa sebesar US$ 10 miliar/tahun. Jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 3,5 juta orang.
Kedua, seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia yang akan mencapai 350 juta dan 8 miliar pada tahun 2030. Maka permintaan domestik maupun global terhadap bahan pangan, serat, kayu, obat-obatan, kosmetik, energi, dan jasa-jasa lingkungan yang berasal dari ekosistem alam pun bakal berlipat ganda.
Ketiga, bahwa negara dengan penduduk lebih besar dari 100 juta jiwa, jika kebutuhan pangannya bergantung pada pasokan impor, maka akan susah maju dan mandiri (FAO, 1998). Keruntuhan Uni Soviet adalah salah satu bukti telanjang dari fenomena ini.
Keempat, sebagian besar kegiatan sektor ekonomi berbasis SDA berlangsung di daerah pedesaan, pesisir, pulau-pulau kecil, atau di luar Jawa dan Bali. Sehingga, membantu mengatasi permasalahan nasional yang hingga kini belum terpecahkan, yakni urbanisasi, brain drain, persebaran penduduk yang tidak merata, dan ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Kelima, sehubungan dengan sifatnya yang terbarukan, maka jika dikelola secara bijaksana. Sektor ekonomi berbasis SDA terbarukan dapat menjamin pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan.
Keenam, mayoritas rakyat Indonesia (75%) bekerja di lima sektor ekonomi berbasis SDA (pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, pertambangan dan energi, dan pariwisata. Maka, adalah pilihan yang tepat dan cerdas bila kita memperkuat dan mengembangkan kelima sektor ini.
Cetak Biru Pembangunan
Kalaupun ekonomi berbasis SDA hingga kini belum mampu menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa yang maju dan makmur, itu karena penguasaan dan penerapan Iptek yang masih relatif rendah dalam bidang ekonomi ini.  Pendekatan manajemen bisnisnya pun kebanyakan masih terpilah-pilah, tidak ada keterpaduan antara sub-sistem produksi (eksploitasi), pananganan dan pengolahan hasil, distribusi, dan pemasaran. 
Industri hilir (processing and manufacturing) yang dapat meningkatkan nilai tambah produk SDA dan industri penunjangnya (seperti alat dan mesin pertanian, perikanan, kelautan, serta pertambangan) pun masih sangat lemah. Dalam hal ini, hampir semuanya kita impor.
Oleh sebab itu, guna mempercepat dan memaksimalkan peran bidang ekonomi berbasis SDA sebagai lokomotif (prime mover), maka mulai sekarang kita mesti menerapkan pendekatan ganda (a dual-track approach) dalam membangun ekonomi berbasis SDA.  Adalah tugas dan tanggung jawab masing-masing departemen beserta stakeholders-nya (pengusaha, masyarakat, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan LSM).
Tujuannya dapat memproduksi komoditas primer, produk antara, produk akhir, dan jasa-jasa secara produktif, efisien, dan berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional dan pasar ekspor secara adil dan berkelanjutan (sustainable).
Dalam hal perikanan tangkap di laut, yang pertama harus dilakukan adalah mengurangi jumlah kapal ikan dan nelayan (fishing effort) dari wilayah-wilayah perairan yang overfishing (kelebihan tangkap). Seperti Pantura (Pantai Utara Jawa) dan Pantai Selatan Sulawesi), sampai pada level 80% dari MSY (potensi produksi lestari).
Kelebihan kapal ikan dan nelayan ini selanjutnya dipindahkan ke wilayah-wilayah perairan yang underfishing atau yang selama ini dijarah (illegal fishing) oleh nelayan-nelayan asing. Lalu, teknologi penangkapan (kapal ikan dan alat tangkap) nya kita modernisir sesuai daya dukung wilayah perairan.
Selain itu, fasilitas tambat-labuh dan bongkar-muat kapal, pelabuhan perikanan (tempat pendaratan ikan) yang ada mesti kita lengkapi dengan industri penanganan dan pengolahan hasil, serta pengadaan sarana dan logistik untuk melaut. Ini untuk menjamin tersedianya semua keperluan melaut dengan harga relatif murah.
Tidak ketinggalan meningkatkan nilai tambah produk perikanan serta memastikan pasar bagi hasil tangkap nelayan dengan harga menguntungkan. Pelabuhan perikanan baru pun perlu dikembangkan sesuai kebutuhan, jangan sampai terjadi over-capitalization (berlebih). Prasarana jalan antara pelabuhan perikanan dengan lokasi pasar ikan dalam negeri maupun lokasi pelabuhan ekspor mesti diperbaiki dan dikembangkan.
Pada tataran makro (politik ekonomi), arsitektur sektor keuangan harus direvisi untuk lebih mendukung pertumbuhan investasi dan bisnis bidang ekonomi berbasis SDA. Sektor pendidikan dan Iptek mesti difokuskan untuk penguasaan dan penerapan tekonologi di lima sektor ekonomi SDA.
Kita perlu fokus dan konsisten mengimplementasikan blueprint pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan dan SDA secara berkesinambungan. Niscaya kita akan dapat mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya daya saing.

Ketua Bidang Kemaritiman-Persatuan Insinyur Indonesia (PII)

ISTIDRAJ BAGI PARA PELAKU MAKSIAT

Selasa, 15 November 2011

ISTIDRAJ BAGI PARA PELAKU MAKSIAT

            Allah ta’ala memiliki nama Ar Rahman yang dengan sifat ini Allah SWT mencurahkan kebaikan kepada seluruh hamba. mencakup orang beriman dan orang kafir serta untuk seluruh makhluk. Kepada orang yang beriman Allah SWT memberikan kenikmatan yang sangat luar biasa karena Allah sangat menyayanginya, Allah berfirman :  … Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan Sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al Baqarah : 277). Namun diantara berbagai kebaikan yang Allah curahkan kepada manusia, terdapat pula kebaikan yang Allah berikan kepada para pelaku maksiat, Rasulullah bersabda, “Apabila kamu melihat Allah memberi seorang hamba apa yang diinginkannya, padahal hamba itu selalu berbuat maksiat, maka sesungguhnya itu adalah istidraj dari Allah untuknya”. (HR. Ahmad dan Thabrani, dalam kitab as-Syu’ab).
            Ingatkah kita pada kisah Qarun kaum nabi Musa as dari Bani Israil, dimana Allah telah memberinya harta yang sangat banyak dan perbendaharaan harta yang melimpah ruah tersimpan dalam lemari-lemari besar yang sangat banyak. Perbendaharaan harta yang banyak tersebut tidak mampu diangkat oleh beberapa orang lelaki kuat dan kekar sekalipun. Harta telah membuat Qarun menjadi sombong sehingga menjauhkannya dari Allah dengan mempergunakan hartanya untuk berbuat kesesatan, kezaliman dan permusuhan. Harta dan kekayaan telah membuat Qarun terlena. Sehingga membuatnya buta dari kebenaran dan tuli dari nasihat-nasihat orang mukmin. Ketika orang-orang mukmin meminta Qarun untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat harta kekayaan dan memintanya untuk memanfaatkan hartanya dalam hal yang bermanfaat dan menebarkan kebaikan, Qarun justru menolak seraya mengatakan "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku"
Berlakulah sunnatullah atasnya dan murka Allah menimpanya “.......dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim : 7). Maka Allah membenamkan harta dan rumahnya kedalam bumi, kemudian terbelah dan mengangalah bumi, maka tenggelamlah ia beserta harta yang dimilikinya dengan disaksikan oleh orang-orang Bani Israil. Tidak seorangpun yang dapat menolong dan menahannya dari bencana itu, tidak bermanfaat harta kekayaan dan perbendaharannya. Tatkala Bani Israil melihat bencana yang menimpa Qarun dan hartanya, bertambahlah keimanan orang-orang yang beriman dan sabar. Adapaun mereka yang telah tertipu dan pernah berangan-angan seperti Qarun, akhirnya mengetahui hakikat yang sebenarnya dan terbukalah tabir, lalu mereka memuji Allah karena tidak mengalami nasib seperti Qarun. Mereka berkata, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)."
Sungguh tidak berfaedah kebaikan yang Allah berikan kepada para pelaku maksiat dan tidak mau mendengarkan peringatan, sehingga mereka larut dalam kesenangan duniawi yang mereka dapatkan dan belanjakan kepada jalur-jalur yang tidak Allah ridhoi, Allah berfirman : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka.  Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa dengan sekonyong-konyong, maka seketika itu mareka terdiam berputus asa. Maka orang-orang zhalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-An’am:  44-45).

INDONESIA HARUS BERBENAH UNTUK MAMPU BERSAING

INDONESIA HARUS BERBENAH UNTUK MAMPU BERSAING
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

kebutuhan dunia terhadap komoditas perikanan terus meningkat setiap tahunnya, keadaan ini dikarenakan pertambahan penduduk dan arah konsumsi masyarakat yang kian berubah ke arah konsumsi protein hewani (ikan) yang lebih sehat. Namun, pasokan ikan dari sector penangkapan cenderung semakin menurun akibat kelebihan tangkap (over fishing) di berbagai wilayah perairan Indonesia, sehingga sector perikanan budidaya yang didukung dengan 81000 km2 garis pantai dengan keadaan geografi dan agroklimat yang mendukung diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan komoditas perikana dalam negeri. Kepemilikan terhadap garis pantai yang sangat luas merupakan potensi besar bagi Indonesia untuk mengembangkan perikanan pantai (khususnya udang) dan menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir udang yang mampu bersaing dengan China, India dan Vietnam. Secara kongkrit pembangunan budidaya perikanan pantai (khususnya udang) dijabarkan dalam bentuk serangkaian upaya pemanfaatan potensi lahan pengembangan yang sesuai dengan seoptimal mungkin dengan meningkatkan produksi untuk meningkatkan gizi masyarakat dan dan pembangunan ekonomi dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan pantai untuk menjamin keberlanjutan usaha perikanan.
Pembangunan ekonomi dari sector perikanan budidaya dan penangkapan tentunya tidak terlepas dari kebutuhan modal investasi dan biaya operasional yang sangat besar mengingat minimnya infrastruktur di daerah pengembangan. Belum lagi biaya investasi dalam rangka manajemen produksi untuk mencapai kualitas ekspor. Namun sayangnya, Peraturan Menteri Agraria Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No.2 Tahun 1999 tentang izin lokasi yang di dalam Pasal 4 ayat 1 butir d, menyatakan ”Luas penguasaan tanah untuk usaha tambak di P.Jawa dibatasi maksimal 100 hektar per propinsi atau total nasional maksimal 1.000 hektar, sedangkan untuk di luar P.Jawa dibatasi maksimal 200 hektar per propinsi atau total nasional maksimal 2.000 hektar saja per grup perusahaan.” Apabila HGU (Hak Guna Usaha) yang ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) ini masih diterapkan tentu peraturan ini akan menghambat masuknya investasi besar ke dalam sektor usaha budidaya perikanan pantai karena dengan luas lahan usaha terpadu yang hanya 200 hektar tidak akan mampu menutupi biaya investasi dan biaya operasional. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.12 Tahun 2007 yang tidak lagi membatasi luas usaha pertambakan harus diterapkan secara efektif dengan syarat : pengusahaan lahan tersebut harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan pantai untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan usaha serta menghindari kehancuran lanscap pantai akibat pengembangan usaha yang tidak terkontrol.
Sinkronisassi kebijakan yang menyangkut berbagai instansi terkait (termasuk BPN dan KKP) merupakan suatu bentuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional, sehingga diharapkan di tahun mendatang Indonesia dapat menjadi negara eksportir komoditas perikanan dari sektor budidaya pantai, khususnya udang. Dengan motto ”Indonesia berbenah untuk dapat bersaing”.

PERANAN TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN DALAM MEWUJUDKAN SWASEMBADA GARAM YANG MENSEJAHTERAKAN RAKYAT

Sabtu, 12 November 2011

http://www.4shared.com/document/sDWcynmi/GARAMppt_Peran_Teknologi_dan_M.html?

Disampaikan pada acara


Pembahasan Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Implementasi Tekonologi PUGAR”
Bogor, 11 November 2011

DINAMIKA DAN EVALUASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT SECARA TERPADU DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

http://www.4shared.com/document/B5_wJtXQ/KLH_Dinamika_dan_Evaluasi_Kebi.html?


Makalah ini disampaikan dalam acara
Lokakarya Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Pesisir dan Laut
yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
Batam, 31 Oktober – 1 November 2011

Dewan Pertimbangan Presiden Mengenai Ketahanan Pangan

makalah ini merupakan ide pemikiran yang disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD) Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Watimpres RI) mengenai Ketahanan Pangan. dilaksanakan di ruang rapat watimpres, 9 November 2011

Rapat ini dipimpin oleh Prof. Dr. Ginanjar Kartasasmita, dan dihadiri oleh para tokoh sebagai berikut
1 Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
2. Adi Sasono
3. Prof. Dr. Purwiyatno (IPB)
4. Dr. Ahmad Suryana
5. Prof. Dr. Bustamul Arifin (ekonom Unila)
6. Hermanto Pakpak (wakil Kementerian PU)
7. Diah Maulida Deputi Menko Perekonomian
8. Euis Sa'adah Dirjen IKM Kementerian Perindustrian
9. Dr. Anton Apriyantono
10. Rifdah (Agrinex)
dan sejumlah Tokoh lainnya

Makalah Download Disini

Literatur Maritim

Jumat, 11 November 2011

http://www.4shared.com/folder/DpxbPjLy/Maritim.html

Kumpulan Artikel Karya Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
sebuah karya nyata dari perjuangan menuju kesejahteraan umat dengan mengembalikan Indonesia kepada Jalurnya (negara Maritim)

Energi Kelautan dan Dilema Pencabutan Subsidi BBM

ENERGI KELAUTAN DAN DILEMA PENCABUTAN SUBSIDI BBM
Oleh : Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, MS[1]

Akhirnya per 1 April 2005 pemerintah menaikan harga BBM sebagai akibat dari pencabutan subsidi terhadap BBM yang mencapai 60,1 trilyun. Kebijakan pemerintah ini pasti akan menimbulkan berbagai pendapat yang pro dan kontra serta menimbulkan kondisi yang tidak stabil yang berakibat timbulnya keresahan masyarakat. Kebijakan pencabutan subsidi BBM juga sangat berat untuk dilakukan pemerintah, mengingat jika terjadi kenaikan harga minyak dunia pemerintah harus memberikan subsidi yang besar terhadap BBM dan ini akan berpengaruh pada terjadinya pembengkakan APBN. Selain itu bila subsidi BBM tetap dilakukan akan banyak mengundang terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri. Subsidi BBM pun akan menjadikan daya beli masyarakat rendah, produktivitas ekonomi rendah, sehingga perekonomian masyarakat tidak terbangun dengan baik. Di satu sisi kebijakan kenaikan BBM akan mengakibatkan kenaikan harga-harga bahan pokok lainya dan kenaikan biaya hidup masyarakat yang merupakan sebab kenapa masyarakat menolak kenaikan BBM. Ini adalah sebuah dilemma yang dihadapi oleh pemerintah akibat terjadinya krisis energi.
Melihat kondisi yang demikian harusnya kita mulai menyiapkan sebuah strategi jangka panjang. Jika kecenderungan kenaikan harga minyak ini disebabkan oleh kelangkaan sumber-sumber minyak maka kita harus menyiapkan energi alternatif  sebagai penganti dari energi minyak tersebut. Oleh karena itu kita harus menyiapkan strategi yang terencana dan terpadu untuk menjadi negara yang kreatif dalam menciptakan sumber-sumber energi dan sumber devisa negara melalui keanekaragaman potensi yang dimiliki Indonesia. Dan tidak dengan mengambil jalan pintas yakni dengan melakukan pencabutan subsidi BBM yang secara langsung memberi beban kepada masyarakat. Karena tidak mungkin 5 tahun mendatang kita tetap mengandalkan minyak sebagai sumber energi satu-satunya, sebab sekitar 5 tahun mendatang Indonesia akan ketergantungan pada minyak impor lebih dari 50 % dan ini terjadi pada saat tren harga minyak tinggi.
Padahal sebenarnya ada potensi non minyak yang menarik di laut Indonesia yang merupakan alternatif energi masa depan, yang sampai saat ini lepas dari perhatian kita semua. Potensi itu tersebar di pantai dan laut kita yang jika digarap serius, bisa mendatangkan keuntungan tersendiri. Dengan demikian masyarakat tidak terlalu terbebani dan tidak terlalu bergantung pada BBM yang cenderung naik terus. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika pengembangan energi kelautan mendapat porsi yang lebih dari pemerintah dan seluruh stakeholders bangsa.
Potensi Energi Kelautan sebagai Alternatif Mengatasi Krisis Energi
Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Di dalam laut yang menghampar diwilayah Indonesia itu terdapat berbagai macam keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional.
Keunggulan sumberdaya energi dan mineral dikawasan pesisir dan laut Indonesia sangat besar. Namun sampai saat ini yang termanfaatkan berupa sumberdaya tidak pulih (unrenewable resources) seperti minyak dan gas bumi dan bijih-bijihan. Sedangkan sumberdaya kelautan yang tergolong dapat pulih seperti sumber energi yang berasal dari gaya atau proses kelautan seperti Energi Gelombang Laut, Energi Pasang Surut, Energi Angin Laut, Energi Arus Laut, Energi gradien kadar garam dan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion) belum termanfaatkan secara optimal. Sumber energi yang berasal dari dinamika laut sampai saat ini masih terbatas pemanfaatannya, hal ini disebabkan oleh keterbatasan teknologi yang dikuasai dan kurangnya political will dari pemerintah.
Kecilnya pemanfaatan energi terbaharukan disebabkan karena saat ini dunia masih mengangap kebutuhan energi yang dipenuhi dari hidrokarbon (minyak) masih dianggap satu-satunya sumber energi yang murah untuk di eksploitasi. Dengan kondisi ini dikhawatirkan dalam waktu dekat akan terjadi krisis energi (minyak). Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi terutama di lautan pesisir maupun lautan dalam yang diperkirakan merupakan sumber energi masa depan.
            Eksplorasi lautan dilakukan tidak hanya untuk mencari sumber minyak yang baru tapi diharapkan di temukan sumber energi baru yang dapat digunakan untuk mengantikan penggunaan BBM. Belum lama ini ditemukan beberapa sumber energi baru yang dimungkinkan untuk di gunakan sebagai bahan bakar pengganti dari minyak bumi, yaitu antara lain ; Hidrat Gas dan Gas Biogenik Kelautan (methan).
Hidrat gas berbentuk energi beku yang tersimpan dalam sedimen laut dalam. Hidrat gas adalah senyawa inklusi kristal yang membentuk suatu campuran air dan gas metana dalam bentuk es, satu meter kubik hidrat gas jenuh sama dengan 189 meter kubik standar gas metana. Menurut survei potensi hidrat gas di seluruh dunia ada sekitar 270 juta TCF[2], atau mencapi 53.000 kali lebih banyak dari cadangan gas yang telah diketahui. Saat ini telah diidentivikasi 79 lokasi didasar laut diseluruh dunia yang mengandung hidrat gas. Menurut tim peneliti dari jerman, kawasan lepas pantai Sumatra bagian barat dan Jawa Barat pada sisi lautan Hindia mengandung hidrat gas yang mencakup daerah seluas kurang lebih 22.000 kilometer persegi.
Gas biogenik merupakan salah satu sumber energi alternatif untuk kawasan pesisir yang terpencil. Pemetaan geologi kelautan sistematik di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Sumatera yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Balitbang Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral sejak tahun 1990 memperlihatkan indikasi adanya sumber gas biogenik. Gas ini umumnya ditemukan pada kedalaman antara 20-50 m di bawah dasar laut. Kawasan perairan dangkal terutama di muara-muara sungai besar juga ditemukan indikasi sedimen mengandung gas (gas charged sediment). Gas biogenik ini umumnya didominasi oleh gas methan yang dikenal sebagai salah satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Gas ini telah dieksploitasi dan dimanfatkan sebagai energi pembangkit listrik mikro dan industri kecil. Seperti yang telah di lakukan di beberapa tempat antara lain muara sungai Yangtze, China (Qilun, 1995). Umumnya, dari satu sumur gas di kawasan ini dapat dieksploitasi 5000 m3 gas per hari dengan tekanan maksimum 6,1 Kg/cm2. Sepanjang kawasan perairan pantai utara Jawa, pantai selatan Kalimantan, pantai timur Kalimantan, dan pantai barat Sumatera merupakan kawasan yang potensial menjadi sumber gas biogenik ini karena memiliki sejarah terbentuknya sungai dan rawa purba yang mirip dengan terbentuknya gas biogenik di muara sungai Yangtze.
Selain sumber energi seperti hirdrat gas dan methan ada sumber energi yang terbaharukan yang dapat digunakan untuk mengatasi terjadinya krisis energi. Sumber energi ini memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan dalam rangka pembangunan berkelanjutan, dan dibangdingkan dengan energi yang dihasilkan dari energi minyak, energi ini lebih unggul dalam hal terbaharukan dan bebas polusi lingkungan,  sumber energi ini  antara lain adalah sebagai berikut :
a.   Energi Gelombang laut (Wave Energy)
Gelombang laut adalah salah satu bentuk energi yang terjadi karena angin yang bertiup akan menyebabkan permukaan laut bergoncang dan bergelombang. Gelombang laut akan bisa dimanfaatkan dengan mengetahui tinggi gelombang, panjang gelombang, dan periode waktunya. Total tenaga dari pecahnya gelombang lautan di sepanjang pesisir pantai dunia diperkirakan dapat menghasilkan tenaga sekitar 2 sampai 3 juta Mw. Pada tempat-tempat tertentu, densiti energi gelombang dapat mencapai rata-rata 65 Mw per mil pesisir pantai. Bayangkan saja bila  satu megawatt dapat mengalirkan listrik untuk 750 rumah di USA atau 3.000 rumah di pemukiman nelayan sederhana di Indonesia seperti pemukiman nelayan di Pantai Utara Jawa.
b.   Energi Pasang Surut (Tidal Energy)
            Pasang surut (Pasut) adalah perubahan atau perbedaan permukaan air laut sepanjang waktu yang diakibatkan karena gaya gravitasi (gaya tarik) bulan dan matahari serta karena gerakan revolusi bumi. Kurang lebih ada sekitar 100 lokasi didunia yang dinilai mempunyai potensi untuk pengembangan pembangkit energi Pasut. Berdasarkan perhitungan kasar jumlah energi pasut di samudera seluruh dunia mencapai 3.106 Mw. Energi potensial dari pasang surut lautan telah dimanfaatkan oleh stasiun pembangkit La Rance yang memiliki fasilitas terluas/terbesar di Prancis, dapat membangkitkan 240 megawatt tenaga. Pada daerah-daerah pesisir mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama periode sedikit di atas 24 jam. Indonesia sebagai negara kepulauan dipastikan memiliki banyak daerah pesisir yang luas, ataupun banyak selat yang membatasinya dan teluk yang dimiliki oleh masing-masing pulau. Ada beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi energi pasut yaitu: Bagan siapi-api, Teluk Palu, Teluk Bima di Sumbawa, Kalimantan Barat (3,5 meter), Kepulauan Aru hingga Papua (muara Sungai Digul dan Pulau Dolak memiliki tinggi pasut berkisar antara 6 sampai 4 meter), Selat Malaka (4 meter), Teluk Sampit [bagian selatan Provinsi Kalimantan Selatan (3,5 meter)] dan Pantai Selatan Pulau Jawa. Hal inilah yang sangat memungkinkan untuk pemanfaatan energi pasut.
c.       Energi Panas Laut (Ocean Thermal Energy)
Sejumlah besar energi panas tersimpan di lautan dunia ini. Setiap harinya lautan menyerap panas yang cukup banyak dari matahari yang jumlahnya menyamai jumlah energi yang terkandung dalam 250 bilyun barel minyak. Pemanasan oleh matahari ini menyebabkan terjadinya perbedaan temperatur antara lapisan atas dan yang bawah, perbedaan inilah yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik. Salah satu pemanfaatanya adalah dengan suatu sistem yaitu yang dikenal dengan istilah Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Sistem ini dapat mengubah energi panas laut menjadi tenaga listrik. Potensi OTEC biasanya terdapat pada laut dalam yang mana di Indonesia memiliki karakteristik laut dengan kedalaman laut lebih dari 1.000 meter yang tergolong pada laut dalam. Terdapat lebih dari 16 lokasi yang mempunyai potensi yang dapat dikembangkan untuk  energi panas (OTEC). Saat ini  teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru taraf percontohan, dengan nama pembangkit Mini OTEC yang berkapasitas 50 kW dengan lokasi percontohan di laut Hawaii. Mini OTEC menghasilkan daya bersih 10 kW sampai 15 kW.
d.      Energi Angin Laut (Ocean Wind Energy)
   Dengan panjang garis pantai Indonesia yang lebih dari 81 ribu km dan memempati urutan kedua setelah Kanada dengan iklim tropisnya sehingga memiliki banyak angin, maka potensi angin dipesisir merupakan sumber energi terbaharukan sebagai alternatif energi yang sangat potensial untuk di kembangkan. Angin yang berhembus bisa memutar kincir dan dapat menghasilkan energi yang setara dengan 450 Gigawatt. Di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dikembangkan sistem dimana listrik yang dihasilkan bisa langsung dimanfaatkan oleh industri dan perumahan lokal. Dengan demikian pada daerah pesisir yang mana di situ dikembangkan industri pengolahan hasil penagkapan, pendinginan, pengalengan dan industri lainya dapat langsung memanfaatkan energi listri dari konversi energi angin laut.
Perlu Kebijakan Yang Mendukung
Untuk membangkitkan potensi energi laut diperlukan kebijakan-kebijakan yang tepat dan terencana. Langkah awal adalah merumuskan kerangka kerja sama sektor energi alternatif , kemudian tak kalah pentingnya adalah mengkaji hambatan-hambatan yang mungkin timbul dalam rangka diffusion of technology. Kebijakan lainya adalah pendekatan integrated solution. Lalu mengidentifikasi teknologi dan sumberdaya yang tersedia. Juga perlu adanya studi kasus diseminasi teknologi pada masyarakat pesisir serta kajian integrasi teknologi agar manfaat langsung bisa dirasakan oleh masyarakat pesisir. Penciptaan energi baru perlu didukung  political will dari pemerintah. Selain itu juga diperlu adanya dukungan finansial dari pemerintah maupun investor.
Penggalian energi laut sebagai energi alternatif merupakan sebuah solusi untuk mengatasi krisis energi yang saat ini ditandai dengan kecenderungan naiknya harga minyak dunia, yang di Indonesia berakibat pada pencabutan subsidi BBM. Padahal jika kita cerdas dan mau menerapkan teknologi yang berkembang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mengembangkan energi laut tersebut maka akan tercipta sumber-sumber energi baru yang lebih potensial. Sehingga cita-cita Indonesia untuk menjadi negara yang maju, makmur dan berkeadilan yang diridloi Allah SWT akan tercapai.


[1] Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
[2] Trillion Cubic Feet. TFC merupakan satuan volume untuk cadangan gas alam yang besar

Bioenergi untuk membantu ekonomi maritim

BIOENERGI UNTUK MEMBANTU EKONOMI MARITIM
Oleh : Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

            Melonjaknya harga minyak dunia hingga mencapai US$ 70 per barel telah mempengaruhi berbagai aktivitas perekonomian di Indonesia dan juga di seluruh belahan dunia. Hal ini dapat terjadi karena anggaran yang semestinya digunakan untuk pembangunan berbagai infrastruktur dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersedot untuk mensubsidi penyediaan BBM dalam negeri.
            Selain karena kecenderungan naiknya harga minyak dunia, beban APBN kita juga semakin berat akibat terus meningkatnya konsumsi BBM nasional yang diperkirakan mencapai 5 % per tahun. Data pertamina menunjukan terjadi peningkatan konsumsi BBM pada bulan Mei  sampai Agustus 2005 yaitu dari 45.000 kiloliter pada bulan Mei, 48.000 kiloliter pada bulan Juli dan menjadi 50.000 kiloliter pada bulan Agustus, ini untuk konsumsi premium. Demikian halnya yang terjadi dengan konsumsi solar juga terus mengalami kenaikan dari 64.000 kililiter bulan Mei menjadi 73.000 kiloliter pada bulan Agustus (Kompas, 2005).
            Krisis energi ini terjadi semata-mata tidak hanya disebabkan naiknya harga minyak dunia ataupun meningkatnya jumlah konsumsi BBM (semakin meningkatnya jumlah penduduk) tetapi karena juga semakin menipisnya jumlah cadangan minyak. Bila pada tahun 1980-an produksi Indonesia mencapai puncak-puncaknya maka saat ini produksi minyak terus mengalami penurunan yaitu hanya sekitar 1,2 juta barel/hari padahal sebelumnya mencapai 1,6 juta barel/hari. Keadaan ini menurunkan kemampuan ekspor minyak mentah (crude oil), sedangkan disisi lain konsumsi BBM yang meningkat membutuhkan     tambahan impor baik berupa crude oil, BBM (oil base fuels) dan minyak lainya (oil products) sehingga keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi net importer oil.
            Permasalahan energi ini akan sangat berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi terutama pada sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Dari seluruh golongan masyarakat, kegiatan ekonomi maritim adalah yang paling terpukul dengan adanya krisis energi ini. Karena mulai dari usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pelayaran (transortasi laut) dan industri pengolahan ikan dipastikan memerlukan BBM. Seperti misalnya pada perikanan tangkap, biaya untuk solar mengambil lebih dari 60% biaya operasional untuk sekali melaut, dengan adanya kenaikan harga solar dan kelangkaaan pasokan BBM tentu sangat menyulitkan para nelayan terutama para nelayan tradisional (kapal dibawah 30 GT). Saat ini para nelayan lebih memilih menyandarkan kapalnya karena biaya opersasional untuk melaut tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang didapat. Bahkan dibeberapa daerah para nelayan harus rela mencampur minyak tanah dengan solar atau bahkan ada yang 100% menggunakan minyak tanah untuk menggantikan solar sebagai bahan bakar untuk kapalnya, hal ini tentu akan mengakibatkan mesin kapal menjadi cepat rusak.
            Tak hanya para nelayan tradisional saja yang merasa terancam dengan adanya krisis BBM, perusahan perikanan tangkap berskala besar pun terancam gulung tikar. Betapa tidak, dalam satu kali melaut kapal tuna long line (kapal 30 GT) membutuhkan setidaknya 120 kiloliter (KL) solar. Oleh karena itu jika pasokan BBM tersendat akan berakibat pada berhentinya produksi penangkapan tuna. Dengan kondisi seperti ini kita terancam akan kehilangan devisa jutaan dolar dengan lumpuhnya usaha perikanan tangkap, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah kita harus rela mengijinkan kapal asing untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini sesuai dengan peraturan internasional Unclos tahun 1982 pasal 2 dan 6 dimana disebutkan jika suatu negara tidak mampu mengelola wilayah ZEE-nya maka negara tersebut wajib untuk mengijinkan negara lain untuk mengelola wilayah ZEE-nya.
            Adapun salah satu strategi penanggulangan krisis energi minyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk membantu sektor ekonomi maritim adalah dengan menerapkan energi alternatif terbaharukan (renewable energy) yaitu bioenergi. Untuk bioenergi Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di dunia.  Menurut departemen pertanian lebih dari 50 jenis tanaman yang ada di Indonesia dapat diekstrak dan diproses untuk menghasilkan biodiesel dan bioethanol menghasilkan yang memungkinkan menggantikan solar dan bensin dalam volume yang sangat besar, tanaman tersebut antara lain adalah jarak, tebu, singkong, jagung, sawit, kelapa, dan bunga matahari.  Selain lebih murah dan memiliki sifat renewable biodegradable, bioenergi dapat membantu memecahkan masalah lahan kritis di Indonesia yang luasnya 22 juta Ha (Deptan, 2004).
            Dalam perkembangannya Indonesia sebenarnya telah mampu memproduksinya, kita telah memiliki teknologi dan bahkan pasarnya seperti yang telah dilakukan oleh Yayasan Perisai Laut Indonesia (YPLI) dan RAP Bioindustry, namun kebanyakan kita masih mengalami kendala dalam permodalan.
            Oleh karena itu seluruh stakeholders bangsa harus bersama-sama mengembangkan biodiesel ini, pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan mengenai pengembangan energi ini dan membantu agar perbankkan mengucurkan dananya bagi pembangunan industri biodiesel, swasta diharapkan menanamkan modalnya untuk pengembangan industi biodiesel kemudian masyarakat bersama berbagai pihak lainya diharapkan mendukung pengembangan energi alternatif biodiesel untuk masa depan. 

Solusi Teknis Spiritual Menjinakan Banjir

SOLUSI TEKNIS DAN SPIRITUAL MENJINAKKAN BANJIR
Oleh
Rokhmin Dahuri

            Banjir bandang lima tahunan kembali melumpuhkan Jakarta pada awal Februari tahun ini dengan luasan kawasan yang kebanjiran sekitar 70% luas total wilayah DKI Jakarta, dua kali lipat dari pada yang terjadi pada banjir bandang 2002. Akibatnya, jumlah korban jiwa, rumah yang terendam, kerusakan prasarana dan sarana pembangunan, kerugian sosial-ekonomi, gangguan jiwa, dan lainnya pun lebih parah ketimbang tahun 2002.  Banjir memang merupakan fenomena alam (sunatullah) yang bisa terjadi di negara-bangsa mana saja di dunia.  Yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain tentang banjir adalah sikap kita yang tidak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu, tidak ikhlas, tidak serius, tidak sistematis dan komprehensif, dan tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, termasuk banjir yang sebenarnya relatif mudah karena sifatnya yang periodik atau bisa diantisipasi sebelum kejadian. 
Kebanyakan kita, baik para pemimpin bangsa, elit politik, pengusaha/swasta maupun masyarakat dalam mengatasi persoalan tidak sampai pada akar masalahnya, bersifat riya (pamer) agar dinilai publik sebagai pemimpin yang peduli, dan ‘hangat-hangat tahi ayam’.  Yang penting bagi para pemimpin dan elit bangsa begitu banjir datang, mereka mengunjungi lokasi bencana, bagi-bagi perahu karet, sembako, obat-obatan, pakaian, mendirikan tempat penampungan, dan kebutuhan lainnya serta mengadakan sejumlah rapat.  Selanjutnya diliput media masa, baik cetak maupun elektronik.  Kemudian, setelah bencana banjir reda, sebulan atau tiga bulan tak ada liputan media masa tentang banjir.  Ya sudah kita tidak bekerja lagi untuk secara ikhlas dan tuntas menyelesaikan persoalan banjir.  Begitulah cara-cara kita sebagai bangsa mengatasi hampir semua permasalahan bangsa.  Wajar, kalau setiap tahun atau periode waktu tertentu kita secara berulang selalu tidak siap menghadapi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan asap, gempa bumi, tsunami, wabah penyakit, dan kecelakaan lalu lintas darat, laut, maupun udara.  Alih-alih, yang terjadi justru aksi saling menyalahkan antara komponen bangsa. Dampak negatip berupa korban jiwa, hancurnya prasanana dan sarana pembangunan, kerugian sosial-ekonomi, serta derita rakyat kecil pun dari waktu ke waktu bertambah parah.  Dengan kata lain, ‘selalu saja kita jatuh dalam lubang yang sama’. 
            Oleh sebab itu, kalau kita serius hendak memecahkan masalah banjir secara tuntas, khususnya di Ibu Kota Negara, dan tidak mau disebut sebagai ’bangsa keledai’, maka kita harus mengatasinya secara sistemik, komprehensif, dan terintegrasi.  Mengingat persoalan banjir tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga aspek etos kerja dan akhlaq, maka kita pun harus menjinakkannya melalui jurus kombinasi teknis dan spiritual.

Akar masalah banjir
            Secara sederhana, banjir terjadi di suatu kawasan bila masukan air yang berasal dari hujan di kawasan tersebut dan/atau dari air hujan dari kawasan hulu (di atasnya) baik melalui aliran air sungai maupun run-off (aliran permukaan) jumlahnya lebih besar ketimbang yang teralirkan ke laut melalui sungai, saluran pembuang maupun run-off dan yang terserap ke dalam tanah pada periode waktu tertentu.  Karenanya, bencana banjir paling dahsyat di kawasan pesisir macam Jakarta bisa terjadi manakala hujan lebat turun di kawasan Bogor, Puncak serta daerah hulu lainnya bersamaan dengan hujan lebat di Jakarta sendiri, ditambah laut sedang pasang naik. 
            Sebagai bangsa yang beriman, kita meyakini bahwa kapan, dimana dan seberapa lebat hujan turun yang menentukan hanya Allah swt, Maha Pencipta Alam Semesta dan semua unsur serta proses alam yang ada di dalamnya.  Namun, yang berkaitan dengan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh banjir akibat hujan sangat bergantung pada perilaku kita manusia.  Fakta ini sesuai dengan firman Allah swt: ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar-Rum [30]: 41).
            Atas dasar pemahaman teknis tentang banjir dan iman kita kepada Allah, maka akar permasalahan (root causes) banjir Jakarta beserta segenap dampak negatipnya akibat ulah manusia bersumber pada: (1) buruknya sistem drainase; (2) tersumbatnya sungai-sungai dan saluran-saluran ke laut; (3) terlalu kecil dan terus menyusutnya daerah resapan air; (4) rusaknya fungsi hidroorologis 13 DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mengaliri Jakarta mulai dari hulu (Bogor-Puncak-Cianjur) sampai ke muara; (5) tidak diimplementasikannya tata ruang wilayah Jakarta dan Bopunjur secara benar dan konsisten; (6) penurunan permukaan tanah dan peningkatan permukaan laut akibat pemanasan global; (7) rendahnya etos kerja birokrasi pemerintahan; (8) budaya mayoritas pengusaha/swasta yang hanya mengejar keuntungan semaksimal mungkin tanpa peduli dengan kepentingan sosial, lingkungan, dan bangsanya (rent-seeking behaviour); (9) entah karena ketidaktahuan, keterpaksaan, atau memang nakal sebagian besar masyarakat pun tidak taat hukum, kurang peduli sosial dan lingkungan, dan sejumlah perilaku negatif lainnya yang dapat menyebabkan banjir; dan (10) langkanya pemimpin yang ikhlas, cerdas, tegas, dan dapat diteladani, satunya kata dan perbuatan.

Solusi teknis terpadu
            Penanganan masalah banjir Jakarta secara tuntas hanya dapat terwujud melalui program pengendalian secara terpadu berbasis DAS dari hulu sampai hilir.  Mengatasi banjir di daerah hilir (wilayah DKI Jakarta) tanpa membenahi daerah hulu (Bopunjur)  akan sia-sia belaka. Buruknya kondisi penggunaan lahan yang ada di daerah hulu yang tercermin dari minimnya kawasan lindung dan terbuka hijau serta semakin sempit dan tersumbat nya S.Ciliwung, mengakibatkan limpahan air banjir dari hulu akan selalu lebih besar ketimbang daya tampung badan sungai.
Sehubungan dengan besarnya volume air ketika musim hujan (terutama setiap siklus lima tahunan), maka untuk daerah hilir kita mesti menerapkan kombinasi tiga konsep pengelolaan tata air secara simultan dan terpadu.  Pertama adalah mengendalikan aliran air dari daerah hulu (banjir kiriman) ke sungai dan membatasi volume air masuk ke wilayah kota. Untuk itu, pembangunan saluran kolektor untuk menampung limpahan air yang dialirkan melalui sisi timur kota (Banjir Kanal Timur, BKT) harus segera dirampungkan. Pada saat yang sama, Banjir Kanal Barat (BKB) untuk menampung limpahan air yang dialirkan lewat sisi barat kota harus ditinggikan dan direhabilitasi, karena banyak yang rusak, mengalami penyempitan dan penyumbatan.  BKB dan BKT keduanya diperkirakan mampu menampung limpahan air dari 40% wilayah DKI Jakarta. Selanjutnya, air dari kedua kanal tersebut harus dengan cepat dialirkan ke laut dengan menggunakan sistem polder dan pompa. Jika kita mampu mendesain dan membangun sistem polder dengan benar seperti halnya negeri Belanda, sistem ini niscaya dapat pula berfungsi menahan banjir yang berasal dari pasang naik laut dan kemungkinan peningkatan paras laut akibat pemanasan global.
            Kedua, mengupayakan air hujan yang berlimpah sebanyak mungkin direspkan kembali (disimpan) kedalam tanah guna memperbesar cadangan air tanah, yang sangat dibutuhkan saat kemarau.  Untuk itu kita harus memperbaiki dan memperluas daerah resapan air berupa taman, hutan kota serta wujud ruang terbuka hijau lainnya.  Danau-danau baru juga perlu dibangun sembari merevitalisasi puluhan danau dan situ yang kondisinya sudah parah akibat pembangunan perumahan, mal-mal, perkantoran, dan aktivitas manusia lainnya secara tak terkendali.  Saat ini luas keseluruhan daerah resapan air kurang dari 10% dari luas total wilayah DKI Jakarta.  Padahal menurut kaidah ekologis yang benar, agar sebuah kota menjadi asri dan nyaman serta terhindar dari bahaya banjir, luas daerah resapan air minimal 30% dari luas total wilayah kota tersebut (Odum, 1976; Clark, 1992; dan Short, 2006). Saatnya kini pemerintah mewajibkan pembangunan satu sumur resapan untuk setiap rumah. Selain itu, RTRW DKI Jakarta 2000-2010 yang ’membolehkan’ konversi ruang terbuka hijau dan daerah resapan air menjadi kawasan industri, bisnis, mal-mal, dan peruntukan pembangunan lainnya harus tahun ini juga diperbaiki agar secara eksplisit menetapkan 30% dari luas wilayah DKI dialokasikan untuk daerah resapan air, daerah hijau, dan fungsi lindung lainnya.
Selain memperluas daerah resapan air, gagasan membangun penampungan air bawah tanah berskala besar (deep tunnel reservoir) seperti di Chicago dan Singapura yang dapat menyimpan sekitar 200 juta m3 air dan bertahan sampai 125 tahun patut pula dipertimbangkan.  Prinsipnya penampungan air bawah tanah ini adalah semacam bendungan bawah tanah untuk menyimpan seluruh limpahan air banjir dan limbah cair dari sanitasi lingkungan kota Jakarta.  Selanjutnya, air ini bisa diolah dan dimanfaatkan sebagai cadangan air baku.  Pilihan teknologi ini menarik, karena selain membantu mengatasi masalah banjir, juga dapat memasok air saat musim kering (El-Nino) yang dalam sepuluh tahun terakhir sering melanda tanah air, tak terkecuali Jakarta. 
Ketiga, memperlancar aliran air dari permukaan tanah (darat) yang terbuka ke saluran-saluran drainase, sungai-sungai, dan akhirnya ke laut.  Karena hampir semua saluran drainase dan ketiga belas sungai yang mengaliri DKI Jakarta telah mengalami penyempitan dan penyumbatan oleh bangunan liar di sepanjang sempadan sungai, sampah, dan sedimentasi; maka pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama secara ikhlas dan penuh disiplin untuk mulai sekarang meniadakan bangunan di sepanjang bantaran sungai sesuai kaidah konservasi, membersihkan sampah dan sedimen dari badan sungai dan kanal-kanal.  Kedepan kita seluruh warga Jakarta tidak boleh lagi mendirikan bangunan di sepanjang sempadan sungai dan kanal-kanal serta tidak lagi membuang sampah sembarangan.  Lebih dari itu, karena sistem drainase Jakarta sebagian besar merupakan warisan Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, sudah saatnya kita menata ulang sistem drainase sesuai dengan kondisi saat ini serta dinamika kependudukan, pembangunan, dan alam di masa mendatang.
Fungsi daerah hulu ketigabelas sungai yang mengaliri Jakarta (utamanya S. Ciliwung) untuk meresapkan/menyimpan air saat hujan dan mengeluarkannya saat kemarau sudah sangat menurun, mungkin kurang dari 25% dari kapasitas aslinya.  Ini tercermin dari fluktuasi debit S. Ciliwung yang sangat besar antara musim penghujan dan kemarau.  Penyebab utamanya adalah kurangnya luasan kawasan lindung dan daerah hijau yang berkualitas atau pepohonanya cukup padat.  Sebagian besar kawasan lindung dan daerah hijau di sepanjang hulu S. Ciliwung (Bopunjur) telah dikonversi menjadi perumahan, vila, kawasan industri, pertanian, dan peruntukan lainnya.  Pada tahun 1992 kawasan terbangun di Daerah Tangkapan Air (Catchment Area) hulu S. Ciliwung hanya 101.363 ha, kemudian pada 2006 naik dua kali lipat lebih menjadi 225.171 ha.  Sementara, kawasan tidak terbangun yang pada 1992 seluas 665.035 ha berkurang menjadi 541.227 ha (LAPAN, 2006).  Akibatnya, air hujan yang seharusnya diresapkan kedalam tanah melalui sistem canopy dan perakaran pepohonan, semak-belukar, dan lainnya dari ekosistem hutan dan kawasan hijau, justru langsung mengalir ke badan sungai. Sehingga, terjadi banjir, erosi dan sedimentasi, dan tanah longsor.  Oleh sebab itu, kita harus secara konsisten segera memperluas areal kawasan lindung atau daerah hijau di daerah hulu menurut RTRW yang benar, idealnya 40% dari luas total Daerah Tangkapan Air. Penghijaun kembali atau reboisasi daerah hulu S. Ciliwung juga tidak bisa ditawar lagi.  
Selain pendekatan konservasin hayati seperti di atas, mencegah banjir kiriman dari hulu perlu dibarengi dengan pendekatan fisik ramah lingkungan yakni dengan membangun waduk-waduk dan kolam-kolam penampung (retarding basins) di kanan-kiri S. Ciliwung mulai dari Ciawi sampai sebelum masuk wilayah DKI Jaya.  Prinsip kerja pendekatan ini adalah menghadang aliran air dari hulu saat banjir, kemudian mengalirkannya ke dalam retarding basins, sebelum masuk ke wilayah yang hendak diselamtakan (Jakarta).  Air banjir tersebut disimpan dalam retarding basins selama musim penghujan, dan dikeluarkan pada musim kemarau.  Selain sebagai sumber air baku dan keperluan manusia lainnya, pelepasan air dari retarding basins saat kemarau juga dapat berfungsi untuk penggelontoran sungai-sungai dan saluran drainase.  Sementara itu, retarding basins berupa waduk-waduk dan kolam juga bisa dimanfaatkan untuk tempat rekreasi dan pariwisata alam berupa pemancingan (sport fishing), dayung, berperahu, dan olah raga air lainnya serta menikmati keindahan panorama.
Persoalannya adalah bahwa membangun kawasan lindung dan daerah hijau serta retarding basins bagi kebanyakan masyarakat dan Pemda daerah hulu (Bogor dan Cianjur) dianggap merugikan ekonomi mereka.  Buat mereka kawasan lindung, daerah hijau, dan areal untuk retarding basins berarti mengurangi luasan lahan untuk industri, pertanian, perumahan, prasarana dan sarana pembangunan, dan aktivitas ekonomi lainnya.  Kebuntuan ini dapat diatasi melalui transfer keuntungan dari Pemda DKI Jaya kepada Pemda Bogor dan Cianjur karena keduanya seakan berkorban untuk menyisihkan areal lahan bagi konservasi yang dapat mengurangi risiko banjir Jakarta.  Cara ini membuahkan hasil yang memuaskan dalam pengendalian banjir Sungai Rhine di Eropa, S. Misisipi di Amerika Serikat, dan S. Saint Lawrence di Kanada.  Berapa besarnya dana (benefit transfer) dari Pemda DKI kepada Pemda Bogor dan Cianjur dapat dihitung dengan menggunakan teknik Economic Valuation (Valuasi Ekonomi).
            Guna mengantisipasi risiko banjir dan persoalan lingkungan lainnya yang berdampak pada ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Jakarta dan nasional, perlu segera dikaji daya dukung ekologis DKI Jakarta.  Jangan-jangan daya dukung ekologis Ibu Kota Negara kita hanya untuk 8 juta orang.  Sedangkan jumlah penduduk Jakarta saat ini sekitar 12 juta orang.  Banjir, sampah, kekurangan air bersih (PD. PAM Jaya hanya mampu memasok 30% total kebutuhan air bersih), buruknya kualitas udara dan sanitasi lingkungan sebenarnay merupakan lonceng ekologis (ecological signals) betapa daya dukung ekologis Jakarta telah terlampaui.

Pendekatan spiritual
            Semua solusi teknis di atas memerlukan sikap kepedulian dan semangat berbagi (care and share) antar sesama warga, pemimpin, aparat pemerintah, pengusaha, dan komponen bangsa lainnya.  Para pemimpin, elit politik, dan jajaran birokrasi pemerintahan  harus bekerja lebih ikhlas dan serius, jangan hanya mengejar popularitas, di dalam menuntaskan masalah banjir.  Para pengusaha mesti mentaati RTRW dengan tidak memaksa (menyogok aparat) untuk mengubah status daerah resapan air atau daerah hijau menjadi kawasan industri, perumahan, mal, dan lainnya.  Masyarakat tidak lagi membangun rumah atau bangunan lainnya di sepanjang sempadan sungai dan kawasan konservasi lainnya dan tidak membuang sampah sembarangan.  Masyarakat dan Pemda Bogor serta Cianjur hendaknya secara ikhlas memperluas kawasan lindung dan daerah hijau serta, khususnya  di Daerah Tangkapan Air Ciliwung, dan mengizinkan pembangunan retarding basins.  Sikap peduli dan semangat berbagi semacam ini hanya mungkin tumbuh-kembang dalam jiwa seorang yang memiliki keimanan bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, sedangkan kehidupan yang abadi (eternal) adalah akhirat.  Bila kita ingin hidup bahagia dunia dan akhirat, maka kita harus beriman kepada Allah swt dan menanm kebaikan, termasuk sikap care and share terhadap sesama.
            Akhirnya, mari kita sikapi bencana banjir secara proporsional dengan melakukan introspeksi (muhasabah); melakukan taubatan nasuha atas segala dosa, maksiat, korupsi, malas, tidak peduli dengan sesama, hanya ingin cari popularitas, dan kesalahan lainnya; dan segera bangkit dari perilaku saling menyalahkan dan kesedihan untuk memperbaiki segenap kerusakan akibat banjir serta mengimplentasikan seganp solusi teknik terpadu untuk secara tuntas mengatasi banjir Jakarta.


[1] Guru Besar Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB; Ketua Umum Sarjana Oseanologi Indonesia; dan Ketua Bidang Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Lingkungan Hidup- Dewan Pakar ICMI

Mensinergikan Makroekonomi dan Sektor Riil

Mensinergikan Makroekonomi dan Sektor Riil
Oleh
Rokhmin Dahuri
            Memasuki tahun 2007, kita menghadapi kondisi perekonomian yang sangat paradoks. Kondisi makroekonomi boleh dibilang sangat menggembirakan. Itu tercermin pada nilai tukar rupiah yang relatif stabil; inflasi rendah (sekitar 6,4%, jauh dibawah target pemerintah sebesar 8% pada 2006); tingkat suku bunga SBI terus menurun; ISHG mencatat rekor tertinggi dalam sejarah, bahkan sempat menembus angka 1800; cadangan devisa cukup mantap; dan meskipun masih di bawah target pemerintah (5,8%) pertumbuhan ekonomi pun cukup baik, sekitar 5,6% untuk 2006.  Lebih dari itu, Indeks Tendensi Bisnis pun meningkat dari 108,7 pada triwulan III-2006 menjadi 110,8 pada triwulan IV-2006.  Demikian juga halnya dengan Indeks Tendensi Konsumen membaik dari 109,2 pada triwulan III-2006 menjadi 109,8 pada triwulan IV-2006.
            Persoalannya adalah bahwa keberhasilan makroekonomi di akhir 2006 tersebut hampir bertolak belakang dengan kondisi kehidupan keseharian mayoritas rakyat Indonesia yang semakin hari semakin sengsara. Angka pengangguran terbuka membengkak dari 10,9 juta orang (10,3%) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta orang (10,4%) pada Februari 2006 karena banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan langkanya lapangan kerja baru.  Sedangkan angka pengangguran semi terbuka mencapai 40 juta atau 37% dari total angkatan kerja nasional 107 juta orang.  Menurut standar garis kemiskinan pemerintah, jumlah orang miskin pun meningkat dari 35,10 juta orang pada Februari 2005 menjadi 39,05 juta orang pada Februari 2006.  Sementara itu, jika standar garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari) yang kita gunakan, maka jumlah orang miskin Indonesia sebenarnya adalah 108 juta orang (45% dari jumlah penduduk).  Bila kita gagal memerangi pengangguran dan kemiskinan, maka keduanya bakal menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak berupa penjarahan, perampokan, pembunuhan, bahkan tidak mustahil revolusi sosial. 
           
Pertumbuhan ekonomi berkualitas
            Stabilitas makroekonomi 2006 bisa menjadi modal dasar untuk membangkitkan kinerja sektor riil yang dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, sekaligus mengurangi angka kemiskinan secara signifikan pada tahun 2007 dan seterusnya.  Untuk itu, pemerintah bersama komponen bangsa lainnya (lembaga legislatif, yudikatif, swasta, dan masyarakat) harus melakukan dua terobosan mendasar, yakni penyempurnaan kebijakan pembangunan ekonomi dan cara-cara kita bekerja.
            Pada tataran kebijakan (policy level) permasalahan pengangguran dan kemiskinan yang akut ini hanya dapat diatasi dengan menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7% per tahun), dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (300.000 – 400.000 tenaga kerja per 1% pertumbuhan), dan berkelanjutan (sustainable). Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas semacam ini hanya dapat diwujudkan melalui investasi di sektor riil yang produktif dan efisien baik berupa investasi baru maupun penguatan yang ada.  Bukan seperti yang selama ini terjadi, sebagian besar investasi dan bisnis hanya di sektor konsumsi dan sektor keuangan, seperti saham, valuta asing, dan lainnya.  Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh investasi di sektor konsumtif dan jasa keuangan pada umumnya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya yang tinggal di daerah perkotaan, dan hanya menyerap sedikit tenaga kerja, sekitar 40.000 orang per 1% pertumbuhan.
            Pada tataran praksis, pertumbuhan ekonomi berkualitas dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan ... agenda kebijakan pembangunan berikut. Pertama, peningkatan produktivitas dan efisiensi secara berkelanjutan setiap unit usaha (business entity) sektor ekonomi SDA terbarukan di seluruh Nusantara yang meliputi: tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan, dan industri bioteknologi.  Ini mesti ditempuh melalui penerapan teknologi tepat-guna dan sistem bisnis terpadu (dari sub-sistem produksi, pasca panen, sampai pemasaran) untuk setiap unit usaha atau kumpulan beberapa unit usaha (corporate agribusiness), sehingga memenuhi economy of scale.  Akan lebih baik bila setiap Kabupaten/Kota fokus pada pengembangan beberapa produk (komoditas) unggulan sesuai kondisi fisik dan sosial-budaya daerah masing-masing.  Semacam program Óne Village, One Product’ nya Jepang. 
Dengan demikian, produktivitas dan efisiensi usaha dapat terdongkrak. Perdagangan produk SDA terbarukan antar Kabupaten/Kota pun akan tumbuh-kembang secara saling menguntungkan melalui koordinasi Pemerintah Provinsi dan Pusat.  Produk dan komoditas yang dihasilkan akan berdaya saing tinggi, sehingga melalui koordinasi dan fasilitasi Pemerintah Pusat, Indonesia bukan hanya akan mampu berswasembada pangan, bioenergi, dan beragam produk industri bioteknologi; tetapi bakal menjadi eksportir berbagai produk dan komoditas SDA terbarukan khas tropik terbesar di dunia.  Produk dan komoditas ekspor dimaksud antara lain berupa: CPO, karet, coklat, teh, kopi, pala, lada, vanilla, gambir, pisang abaca (perkebunan); mangga dan buah-buahan lainnya, sayur-sayuran, dan anggrek dan bunga-bungan lainnya (hortikultur); kayu dan produk non-kayu hutan (kehutanan); udang, kepiting, rajungan, ikan tuna, kerapu, kakap, bawal, sardine, tenggiri, layur, mutiara, abalone, rumput laut, katak, nila, patin jambal, dan ikan hias (perikanan); dan bioethanol dan biodiesel (biofuels).  Lebih dari itu, seiring dengan meningkatnya kecenderungan global terhadap konsumsi obat-obatan dan penggunaan kosmetik dari alam (organic medicines and cosmetics), maka dengan menerapkan bioteknologi di bidang kedokteran, kelautan dan perikanan, pertanian dan pangan, Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi di dunia sangat berpeluang menjadi produsen sekaligus eksportir terbesar produk farmasi dan kosmetik berasal dari flora dan fauna tropik.  Produksi berbagai produk/komoditas tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, dan peternakan dapat dilakukan melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi khususnya dengan memanfaatkan lahan kritis yang kini luasnya mencapai 22 juta ha, atau diversifikasi jenis. Singkat kata, mari kita manfaatkan setiap jengkal tanah dan perairan (laut) untuk memproduksi SDA terbarukan.
Kedua, lahan pertanian dan perairan produktif hendaknya kita pertahankan, jangan dikonversi untuk kawasan industri, permukiman, dan peruntukan lainnya melalui implementasi tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional secara konsisten. Ketiga, program nasional diversifikasi pangan non-beras secara seimbang dan bergizi yang telah dicanangkan sejak Orde Baru harus lebih diperkuat dan dikembangkan guna menjamin tercapainya ketahanan pangan nasional.
Keempat, pengembangan industri pengolahan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah serta sejumlah multiplier effects ekonomi.  Industri pengolahan hasil ini mesti dibangun di setiap kawasan produksi SDA terbarukan guna menjamin pasar dan stabilitas harga produk primer (bahan mentah), sehingga menguntungkan para produsen (petani, nelayan, pekebun, dan lainnya).  Sudah saatnya kita pun memproduksi tepung dari beras, jagung, sagu, sorgum, garut, dan lainnya, sehingga selain kita meningkatkan nilai tambah, juga secara bertahap melepas ketergantungan impor tepung gandum yang nilainya milyaran dolar setiap tahunnya.  Kelima, pengembangan industri pendukung seperti peralatan dan mesin pertanian (traktor, penggilingan padi, pengering, pemintal sutera, mesin-mesin pengolah hasil pertanian dan perkebunan, dll); mesin dan peralatan kapal, alat penangkap ikan, fish finder, kincir air tambak, mesin pembuat tepung ikan dan pellet; dan mesin pabrik pulp dan kertas; dan lainnya. 
Keenam, peningkatan penguasaan dan penerapan IPTEK yang berkaitan dengan seluruh aspek bisnis dan ekonomi SDA terbarukan melalui implementasi sistem penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara terpadu, yang mencakup ilmu dinamika ekosistem dan SDA terbarukan; sub-sistem produksi (genetika, nutrisi, hama & penyakit, pengelolaan tanah & air, agricultural engineering, remote sensing, GIS, acoustics, dll); sub-sistem handling and processing/pasca panen (biokimia, bioteknologi pangan, bioteknologi kedokteran dan farmasi, kosmetik, mesin pengolahan, teknologi pengemasan, dll); sub-sistem distribusi dan pemasaran (ITC, marketing, transportasi, dll).  Penguasaan dan penerapan IPTEK ini sangat mendasar agar setiap produk atau komoditas SDA terbarukan yang kita hasilkan berdaya saing tinggi, sehingga mampu bersaing bukan hanya di pasar domestik, tetapi juga pasar global.  Ketujuh, sejak sekarang kita harus menyatakan perang terhadap berbagai kegiatan ekonomi illegal.
Kedelapan agar keenam agenda pembangunan tersebut dapat terlaksana secara optimal, maka Pemerintah bersama DPR mengimplementasikan kebijakan politik-ekonomi yang bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor-sektor ekonomi SDA terbarukan.  Aset ekonomi produktif, khususnya modal, infrasrtuktur, informasi, dan pasar harus disediakan untuk mayoritas rakyat yang bekerja  pada sektor-sektor ekonomi SDA terbarukan.  Sudah saatnya Indonesia memiliki Bank Khusus untuk sektor SDA terbarukan (policy banking) dengan persyaratan dan tingkat bunga khusus.  Dalam pada itu, departemen terkait (Deptan, DKP, Dephut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dan Depdagri) bersama Pemda menyiapkan dan membina masyarakat secara teknis dan manajemen, sehingga mereka siap untuk menerima kredit khusus tersebut untuk usaha/bisnis SDA terbarukan secara menguntungkan dan bankable.  Melalui perbaikan manajemen dan kontrak kerjasama di sektor migas dan pertambangan umum, keuntungan yang lebih besar hendaknya diinvestasikan untuk sektor-sektor ekonomi SDA terbarukan. Kita pun harus melindungi dan mempromosikan produk-produk SDA terbarukan dari serbuan produk impor di era free trade yang belum fair (double standard) ini.


[1] Guru Besar Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB; Ketua Komite Pengembangan Ekonomi Maritim-KADIN

Mensinergikan Makro Ekonomi dan Sektor Riil

Mensinergikan Makroekonomi dan Sektor Riil
Oleh
Rokhmin Dahuri[1]
            Memasuki 2007, kita menghadapi kondisi perekonomian yang sangat paradoks. Kondisi makroekonomi boleh dibilang sangat menjanjikan. Itu tercermin pada nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi rendah, tingkat suku bunga SBI terus menurun, ISHG mencatat rekor tertinggi dalam sejarah dan sempat menembus angka 1800, cadangan devisa mantap, dan meskipun kurang berkualitas pertumbuhan ekonomi sepanjang 2006 pun cukup baik, sekitar 5,6%. Dan, yang lebih spektakuler adalah keputusan berani dan benar Pemerintah untuk membubarkan CGI sebagai langkah strategis untuk kita mandiri secara ekonomi guna menjadi bangsa besar dan makmur.
            Persoalannya adalah bahwa keberhasilan makroekonomi tersebut hampir bertolak belakang dengan kondisi kehidupan keseharian mayoritas rakyat Indonesia yang semakin hari semakin sengsara. Tingkat kesejahteraan mereka terus menurun, dan daya beli mereka pun semakin merosot. Ditambah lagi dengan berbagai bencana alam, wabah penyakit, dan kecelakaan lalu lintas darat, laut maupun udara yang seolah tak ada hentinya sejak Pemerintahan SBY-JK berkuasa, lengkaplah sudah penderitaan rakyat kecil kita.  Angka pengangguran terbuka membengkak dari 10,9 juta orang (10,3%) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta orang (10,4%) pada Februari 2006 karena banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan langkanya lapangan kerja baru.  Sedangkan angka pengangguran semi terbuka mencapai 40 juta atau 37% dari total angkatan kerja nasional 107 juta orang.  Menurut standar garis kemiskinan pemerintah, jumlah orang miskin pun meningkat dari 35,10 juta orang pada Februari 2005 menjadi 39,05 juta orang pada Februari 2006.  Sementara itu, jika standar garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari) yang kita gunakan, maka jumlah orang miskin Indonesia sebenarnya mencapai 108 juta orang atau 45% dari jumlah penduduk.  Bila kita gagal memerangi pengangguran dan kemiskinan, maka keduanya bakal menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak berupa penjarahan, perampokan, pembunuhan, dan berbagai patologi sosial lainnya, bahkan tidak mustahil memicu revolusi sosial. 
           
Pertumbuhan ekonomi berkualitas
            Stabilitas makroekonomi 2006 dan lepasnya kita dari penjajah ekonomi asing (IMF dan CGI) mesti kita jadikan modal dasar untuk membangkitkan kinerja sektor riil yang dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, sekaligus mengurangi angka kemiskinan secara signifikan pada tahun 2007 dan seterusnya.  Untuk itu, pemerintah bersama komponen bangsa lainnya (lembaga legislatif, yudikatif, swasta, dan masyarakat) harus melakukan dua terobosan mendasar, yakni penyempurnaan kebijakan pembangunan ekonomi dan cara-cara kita sebagai bangsa bekerja.
            Pada tataran kebijakan, permasalahan pengangguran dan kemiskinan hanya dapat diatasi dengan menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7% per tahun), dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (300.000 – 400.000 tenaga kerja per 1% pertumbuhan), mampu mensejahterakan seluruh rakyat secara adil, dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas semacam ini hanya dapat diwujudkan melalui investasi di sektor riil yang produktif dan efisien baik berupa investasi baru maupun penguatan yang ada.  Bukan seperti yang selama ini terjadi, sebagian besar investasi dan bisnis hanya di sektor konsumsi dan sektor keuangan.  Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh investasi di sektor konsumtif dan jasa keuangan pada kenyataannya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya yang tinggal di daerah perkotaan, dan hanya menyerap sedikit tenaga kerja, sekitar 40.000 orang per 1% pertumbuhan.
            Pada tataran praksis, pertumbuhan ekonomi berkualitas dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan sepuluh agenda kebijakan pembangunan berikut. Pertama, peningkatan produktivitas dan efisiensi secara berkelanjutan setiap unit usaha (business entity) sektor ekonomi SDA terbarukan meliputi: tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan, dan industri bioteknologi.  Ini mesti ditempuh melalui penerapan teknologi dan sistem bisnis terpadu (dari sub-sistem produksi, pasca panen, sampai pemasaran) untuk setiap unit usaha atau kumpulan beberapa unit usaha (corporate business), sehingga memenuhi economy of scale.  Akan lebih baik bila setiap Kabupaten/Kota fokus pada pengembangan beberapa produk (komoditas) unggulan sesuai kondisi biofisik dan sosial-budaya daerah masing-masing.  Semacam program Óne Village, One Product’ nya Jepang. 
Dengan demikian, produktivitas dan efisiensi usaha dapat terdongkrak. Perdagangan produk SDA terbarukan antar Kabupaten/Kota pun akan tumbuh-kembang secara saling menguntungkan melalui koordinasi Pemerintah Propinsi dan Pusat.  Produk dan komoditas yang dihasilkan akan berdaya saing tinggi, sehingga melalui koordinasi dan fasilitasi Pemerintah Pusat, Indonesia bukan hanya akan mampu berswasembada pangan, bioenergi, dan beragam produk industri bioteknologi; tetapi bakal menjadi eksportir berbagai produk dan komoditas SDA terbarukan khas tropik terbesar di dunia.  Produk dan komoditas ekspor dimaksud antara lain berupa: CPO, karet, coklat, teh, kopi, pala, lada, vanilla, gambir, pisang abaca (perkebunan); mangga dan buah-buahan lainnya, sayur-sayuran, dan anggrek dan bunga-bungan lainnya (hortikultur); kayu dan produk non-kayu hutan (kehutanan); udang, kepiting, rajungan, ikan tuna, kerapu, kakap, bawal, sardine, tenggiri, layur, mutiara, abalone, rumput laut, katak, nila, patin jambal, dan ikan hias (perikanan); dan bioethanol dan biodiesel (biofuels).  Lebih dari itu, seiring dengan meningkatnya kesadaran global terhadap konsumsi obat-obatan dan penggunaan kosmetik dari alam (organic medicines and cosmetics), maka dengan menerapkan bioteknologi di bidang farmasi, kedokteran, kelautan dan perikanan, pertanian dan pangan, Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi di dunia sangat berpeluang menjadi produsen sekaligus eksportir terbesar produk farmasi dan kosmetik berasal dari flora dan fauna tropik.  Produksi berbagai produk/komoditas tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, dan peternakan dapat dilakukan melalui usaha intensifikasi dan ekstensifikasi khususnya dengan memanfaatkan lahan kritis yang kini luasnya mencapai 22 juta ha, atau diversifikasi jenis. Singkat kata, mari kita manfaatkan setiap jengkal tanah dan perairan (laut) untuk memproduksi SDA terbarukan sebagai keunggulan kompetitif.
Lahan pertanian dan perairan produktif hendaknya kita pertahankan, jangan dikonversi untuk kawasan industri, permukiman, dan peruntukan lainnya melalui implementasi tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional secara konsisten. Program nasional diversifikasi pangan non-beras secara seimbang dan bergizi yang telah dicanangkan sejak Orde Baru harus lebih diperkuat dan dikembangkan guna menjamin tercapainya ketahanan pangan nasional.  Penguatan dan pengembangan industri pengolahan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah serta sejumlah multiplier effects ekonomi.  Industri pengolahan hasil ini mesti dibangun di setiap kawasan produksi SDA terbarukan guna menjamin pasar dan stabilitas harga produk primer (bahan mentah), sehingga menguntungkan para produsen (petani, nelayan, pekebun, dan lainnya).  Sudah saatnya kita pun memproduksi tepung dari beras, jagung, sagu, sorgum, garut, dan lainnya. Sehingga, selain kita meningkatkan nilai tambah, juga secara bertahap melepas ketergantungan impor tepung gandum yang nilainya milyaran dolar setiap tahunnya.  Pengembangan industri pendukung seperti peralatan dan mesin pertanian (traktor, penggilingan padi, pengering, pemintal sutera, mesin-mesin pengolah hasil pertanian dan perkebunan, dll); mesin dan peralatan kapal, alat penangkap ikan, fish finder, kincir air tambak, mesin pembuat tepung ikan dan pellet; dan mesin pabrik pulp dan kertas; dan lainnya. 
Peningkatan penguasaan dan penerapan IPTEK yang berkaitan dengan seluruh aspek bisnis dan ekonomi SDA terbarukan melalui implementasi sistem penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara terpadu, yang mencakup ilmu dinamika ekosistem dan SDA terbarukan; sub-sistem produksi (genetika, nutrisi, hama & penyakit, pengelolaan tanah & air, agricultural engineering, remote sensing, GIS, acoustics, dll); sub-sistem handling and processing/pasca panen (biokimia, bioteknologi pangan, bioteknologi kedokteran dan farmasi, kosmetik, mesin pengolahan, teknologi pengemasan, dll); sub-sistem distribusi dan pemasaran (ITC, marketing, transportasi, dll).  Penguasaan dan penerapan IPTEK ini sangat mendasar agar setiap produk atau komoditas SDA terbarukan yang kita hasilkan berdaya saing tinggi, sehingga mampu bersaing bukan hanya di pasar domestik, tetapi juga pasar global. 
Kedua, revitalisasi industri-industri yang sebelum krisis ekonomi menjadi unggulan Indonesia dan sumber pertumbuhan ekonomi serta penyedia lapangan kerja dalam jumlah besar, termasuk: elektronik; otomotif; tekstil, kulit, dan alas kaki; pupuk; semen; alat transportasi; kertas dan percetakan; besi dan baja; dan industri perkapalan.  Ketiga, pengelolaan sektor ESDM (energi dan sumberdaya mineral) secara lebih cerdas, ramah lingkungan, dan menguntungkan bangsa sendiri.  Bukan seperti selama ini lebih menguntungkan asing.  Pada dasarnya kitalah yang harus memanfaatkan dan mengelola ESDM untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa.  Kalaupun kita bekerjasama dengan pihak asing, mereka bekerja untuk kita, bukan sebaliknya seperti yang selama ini terjadi.  Kita bisa meneladani Malaysia, Australia, Kanada, dan Bolivia yang mampu menjadikan sektor ESDM sebagai sumber kemajuan, kemakmuran, dan kemandirian bangsanya. Tidak susah sebenarnya, kalau para elit penguasa negeri ini mau serius dan tulus membangun bangsa.  Keempat, pembangunan infratrusktur (air bersih, listrik, telekomunikasi, jalan, pelabuhan, jaringan irigasi, dll) yang mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi perekonomian, khususnya ketiga sektor ekonomi riil di atas, serta memberi manfaat luas bagi masyarakat.  Pembangunan infrastruktur juga harus dapat menunjang produktivitas dan efisiensi ketiga bidang ekonomi riil di atas. Sudah saatnya pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah padat penduduk dan/atau padat industri (pembangunan), seperti Jawa, Bali, Medan, Balikpapan, Bontang, Makassar,  dan Timika, diserahkan kepada swasta.  Sementara, dana APBN diprioritaskan untuk membangun wilayah-wilayah tertinggal di luar Jawa dan Bali, pulau-pulau kecil serta daerah perbatasan.  Kelima, untuk memanfaatkan akumulasi kelebihan likuiditas di sektor keuangan yang semakin membengkak dan mencapai Rp 235 triliun yang tersimpan dalam bentuk SBI per Januari 2007 (Kompas, 1/02/2007 halaman 19), setiap depertemen yang terkait dengan kegiatan sektor ekonomi riil di atas harus meningkatkan kinerjanya dengan target dan program terencana dan terukur.  Selain itu, departemen-departemen dimaksud hendaknya bekerjasama secara sinergis dengan pemerintah daerah untuk bersama-sama swasta (pengusaha) dan masyarakat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahanya, sehingga bankable. Sudah saatnya Indonesia memiliki Bank Khusus untuk sektor SDA terbarukan (policy banking) dengan persyaratan dan tingkat bunga khusus.  Dalam pada itu, departemen terkait (Deptan, DKP, Dephut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dan Depdagri) bersama Pemda menyiapkan dan membina masyarakat secara teknis dan manajemen, sehingga mereka siap untuk menerima kredit khusus tersebut untuk usaha/bisnis SDA terbarukan secara menguntungkan dan bankable.   Pada saat yang sama, pihak perbankan pun harus proaktif, menjemput bola, terjun ke lapang untuk membiayai investasi dan bisnis sektor riil yang telah dibina pemerintah dan pengusaha.
Keenam, karena produktivitas, efisiensi dan daya saing ekonomi yang menentukan maju-mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas SDM, maka pembangunan kesehatan, pendidikan, dan akhlaq (spiritual) bangsa haruslah diprioritaskan dan disempurnakan. Tidak ada tawar menawar lagi soal pembangunan SDM ini. Enough is enough ! Kalau tidak, tunggu saat kehancuran kita sebagai bangsa (a failed nation-state).  Ketujuh, sejak sekarang kita harus menyatakan perang terhadap berbagai kegiatan ekonomi illegal, termasuk illegal loging, illegal fishing, BBM, beras, pupuk, pakaian, elektronik, narkoba, dan lainnya.  Kedelapan, reformasi birokrasi harus sekarang juga dilaksanakan.  Seluruh jajaran birokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan TNI serta POLRI) dari tingkat pusat sampai daerah harus punya persepsi sama bahwa birokrasi adalah amanah unutk melayani publik.  Bukan untuk kepentingan golongan, apalagi pribadi.  Mindset birokrasi kita harus berubah secara revolusioner.  Dari dilayani menjadi melayani. Dari memperlambat menjadi mempercepat (prinsip zero-time response ala Singapura, just in time delivery, dll). Dari mempersulit menjadi mempermudah.  Reformasi birokrasi ini hanya bisa terealisir, bila tiga resep utama secara simultan dilaksanakan: (1) besaran dan sistem penggajian birokrasi yang manusiawi tidak dibuat ‘munafik’seperti selama ini, dalam hal ini kita bisa mencontoh Malaysia; (2) reward and punishment bagi yang berprestasi dan yang pecundang secara adil dan konsisten, untuk yang satu ini cara-cara Singapura dan RRC bisa kita tiru; dan (3) teladanan dari atas, Presiden, Wapres, para menteri, gubernur, bupati/walikota, para anggota DPR/DPRD/DPD, hakim, jaksa, para jenderal TNI dan POLRI
Kesembilan, kebijakan makroekonomi (moneter dan fiskal) seperti penetapan nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga, laju inflasi, dan defisit anggaran hendaknya dirancang untuk membuahkan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang mampu menyediakan lapangan kerja dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Mari kita tinggalkan, ukuran keberhasilan ekonomi yang hanya mendasarkan pada inflasi rendah, nilai tukar rupiah, ISHG, dan rendahnya defisit anggaran yang acap kali tidak nyambung dengan tujuan utama (the ultimate goal) dari pembangunan ekonomi itu sendiri, yaitu meningkatnya kapasitas dan kesejahteraan rakyat.  Selain itu, di era globalisasi ini, kebijakan makroekonomi harus pula menunjang terbentuknya ekonomi nasional yang berdaya saing yakni yang mampu memacu produktivitas dan efisiensi sektor ekonomi riil. Dan, selanjutnya melahirkan dari rahimnya perusahaan-perusahaan kelas dunia yang tidak hanya mampu menangkis gempuran berbagai produk impor di pasar domestik, tetapi juga mampu memenangkan persaingan di pasar internasional.
Kesepuluh, perbaikan iklim investasi yang meliputi konsistensi kebijakan ekonomi pemerintah, penghapusan ekonomi biaya tinggi dan budaya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), kepastian hukum, keamanan berusaha, ketenagakerjaan, dan perpajakan harus dapat dilaksanakan mulai tahun ini.
Akhirnya, kesepuluh agenda pembangunan di atas dapat terealisir dan niscaya mampu memerangi pengangguran dan kemiskinan menuju Indonesia maju, makmur dan mandiri pada 2025, bila segenap komponen bangsa (pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif, swasta, masyarakat, dan kelompok oposisi) bekerja secara sinergis, keras, cerdas, dan ikhlas karena Allah swt untuk kepentingan bangsa.


[1] Guru Besar Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB; Ketua Komite Pengembangan Ekonomi Maritim-KADIN

Popular Posts