Atasi Ancaman Krisis Pangan

Jumat, 11 November 2011

ATASI ANCAMAN KRISIS PANGAN
Oleh
 Rokhmin Dahuri [1]

Naiknya harga bahan pangan pokok seperti beras, kedelai, minyak, terigu, gula dan produk pangan lainnya di awal tahun 2008 menyentakan seluruh masyarakat Indonesia. Awal tahun yang sebagian besar rakyat berharap ada keberuntungan dan keberkahan malah menjadi bencana. Betapa tidak, melonjaknya harga bahan pangan tersebut akan semakin menambah beban rakyat dan akan memicu naiknya berbagai kebutuhan hidup lainya seperti kesehatan, transportasi, dan lain-lain.

Naiknya harga kebutuhan hidup rakyat menjadi sebuah ironi karena rakyat telah menaruh harapan yang besar pada era reformasi, yang mana diharapkan membawa perbaikan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat. Namun apa yang telah terjadi saat ini malah sebaliknya.  

Melonjaknya harga pangan menjadi terasa semakin berat tatkala tidak diikuti oleh naiknya pendapatan masyarakat, sehingga akan mempersulit rakyat dalam mengakses bahan pangan. Ini merupakan salah satu gejala krisis pangan, jika kondisi ini berlangsung terus tanpa ada upaya solusi yang komprehensif maka ancaman krisis pangan akan benar-benar terjadi dan lebih dari itu akan memicu pula terjadinya krisis sosial seperti yang telah terjadi sebelumnya baik pada era kejatuhan Presiden Soekarno, maupun pada era kejatuhan Presiden Soerharto.

Mengingat akibat yang akan ditimbulkan dari krisis pangan tersebut maka gejala kenaikan harga pangan harus benar-benar menjadi perhatian serius kita semua, jangan sampai kita terjatuh pada lubang yang sama.

Akar Masalah

Memang kenaikan harga pangan saat ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga dirasakan negara-negara lain di dunia, penyebabnya antara lain adalah: pertama, melonjaknya harga minyak dunia sehingga memicu meningkatnya permintaan biofuel yang diproduksi dari tanaman seperti jagung, gandum, beras, tebu, sawit, dan bahan pangan lainnya.

Yang kedua adalah adanya perubahan iklim dunia. Pemanasan global telah mengakibatkan sulitnya memprediksi perubahan musim, akibatnya musim tanam menjadi tidak menentu dan resiko gagal panen pun menjadi sangat besar.

Dan yang terakhir adalah pertambahan penduduk dunia yang tidak terbendung. Negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar mengalami kekhawatiran stok pangan mereka tidak mencukupi sehingga mereka menahan laju ekspor bahkan mereka atau malah membeli bahan pangan (beras) secara besar-besaran untuk mengamankan stok dalam negeri mereka. Tindakan negara-negara tersebut mengakibatkan kepanikan yang luar biasa pada pasar pangan dunia, sehingga harga bahan pangan pun melonjak naik. Kekhawatiran negara-negara tersebut sangat beralasan sebab, stok bahan pangan dunia pada dasawarsa terakhir ini menunjukan kecenderungan yang semakin menurun.

Selain ketiga hal tersebut, khusus Indonesia gejolak kenaikan harga pangan juga sangat dipengaruhi oleh ketergantungan pangan nasional pada impor, sehingga jika harga pangan dunia melonjak, maka dapat dipastikan harga pangan nasional pun akan bernasib sama atau malah lebih parah.

Ketergantungan Indonesia pada bahan pangan impor sudah bukan menjadi hal yang baru lagi karena saat ini kita telah menjadi negara paling nomor satu dalam urusan impor bahan pangan. Ini sesuatu hal yang sangat memyedihkan sekaligus memalukan sebagai negara yang mendapat julukan sebagai ”negara agraris”. Ketergantungan pada impor tidak saja berakibat pada melonjaknya harga pangan nasional tetapi akan berdampak lebih dasyat yaitu, keterjebakan pangan (food trap; dalam hal ini negara sangat tergantung pada pasokan pangan negara lain), penghamburan devisa negara yang cukup besar, yang  mengakibatkan petani makin sengsara, sehingga dapat memicu mandulnya pertanian nasional yang mana seharusnya dapat menjadi keunggulan kompetitif bangsa.


Strategi

Melihat permasalahan pangan nasional yang begitu kompleks (mulai dari yang rendahnya produktifitas pertanian pangan, kenaikan harga pangan, distribusi, impor bahan pangan hingga ancaman krisis pangan) maka perlu ada upaya yang serius dari kita semua untuk bersama-sama bekerja keras menyelesaikan masalah tersebut.

Namun sebelum melangkah jauh perlu menjadi fokus kita bahwa permasalahan pangan nasional tidak hanya melulu pada konsep swasembada pangan (tercukupinya secara fisik produksi bahan pangan), tetapi juga melihat bagaimana aspek aksesbilitas masyarakat pada bahan pangan tersebut. Apabila dua aspek ini sudah terpenuhi maka kita dapat dikatakan telah memiliki ketahanan pangan (food security) yang kuat.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut perlu ada beberapa strategi yang harus segera dijalankan oleh kita semua. Pertama, dalam waktu dekat ini kita harus berusaha menciptakan stabilitas harga pangan, yaitu dengan memberikan pasokan pangan yang cukup kepada masyarakat, dalam hal ini negara harus turun tangan, banyak instrumen yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini, seperti pemberian insentif untuk petani baik berupa kemudahan memperoleh sarana produksi seperti pupuk dan benih berkualitas, pemberian kredit permodalan, bantuan pengolahan dan teknologi sehingga petani meningkatkan produksinya.

Kedua, meningkatkan produksi pangan untuk kebutuhan jangka panjang. Caranya dengan memproyeksikan kebutuhan pangan nasional dan potensi sumberdaya lahan, air dan lainnya. Sebagai gambaran, saat ini konsumsi rata-rata pangan (beras) mencapai 139 kg/kapita/tahun. Lalu kita proyeksikan kebutuhan tersebut pada tahun 2030 yang mana jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 300 juta. Maka pada tahun tersebut kita memerlukan beras sebanyak 41,7 juta ton atau sekitar 70 juta ton GKG (Gabah Kering Giling). Lalu dengan deman sebesar 70 juta ton GKG tersebut maka diperlukan lahan sawah seluas 14 juta ha dengan asumsi produktivitas 6 ton GKG /ha/tahun, padahal kita tahu bahwa potensi lahan yang memungkinkan untuk dijadikan sawah adalah sebesar 24,5 juta ha (Deptan, 2006). Namun sampai saat ini kita baru memanfaatkan sebesar 8,5 juta ha.

Strategi selanjutnya adalah, keberpihakan secara politik terhadap pertanian dan pangan oleh para pemangku kebijakan. Bahwa tanpa adanya instrumen ini strategi diatas tidak mungkin akan berjalan. Peningkatan produksi pertanian (bahan pangan) akan sangat tergantung, bagaimana elit politik melihat permasalahan ini, karena pada akhirnya merekalah yang menentukan arah dan tujuan pembangunan (pangan dan pertanian). Apakah kebutuhan pangan akan terus mengantungkan pada impor atau kita produksi di dalam negeri, sangat tergantung pada putusan elit politik.

Jika semua instrumen telah siap dan seluruh komponen bangsa sepakat untuk lepas dari ketergantungan impor pangan dari negara lain menuju pada keberdaulatan pangan, maka hal yang harus segera dilakukan adalah secara bertahap dan konsisten untuk menghentikan impor bahan pangan secepatnya. Kedua, meningkatkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan sarana irigasi, listrik, transportasi dan komunikasi di senta-sentra tanaman pangan (pedesaan). Ketiga, memperbaiki kinerja kelembagaan petani dan menghidupkan kembali unit-unit/kelompok-kelompok tani, dengan sistem dan manajemen yang transparan. Keempat, menyediakan permodalan khusus untuk sektor pertanian baik melalui lembaga perbankan maupun non-bank (KUD, kelompok tani, kelurahan dll). Kelima, memperbaiki manajeman distribusi bahan pangan dari tingkat produsen sampai konsumen. Keenam, menerapkan sistem pertanian yang maju dan bertekonologi sehingga akan meningkatkan produksi dan efisiensi. Dan yang terakhir, ketujuh adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengusaha yang berminat di sektor pertanian mulai dari usaha di hulu sampai pada hilirnya.

Bila strategi pembangunan pangan dan pertanian ini diterapkan, maka kita akan terbebaskan dari ancaman krisis pangan, bahkan persoalan berupa pengangguran, kemiskinan, energi dapat terpecahkan. Dan harapan Indonesia menjadi bangsa besar yang maju dan makmur akan segera terwujud.


[1] Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan-IPB; Ketua Komite Pengembangan Ekonomi Maritim-KADIN

0 komentar:

Popular Posts