Mensinergikan Makroekonomi dan Sektor Riil

Jumat, 11 November 2011

Mensinergikan Makroekonomi dan Sektor Riil
Oleh
Rokhmin Dahuri
            Memasuki tahun 2007, kita menghadapi kondisi perekonomian yang sangat paradoks. Kondisi makroekonomi boleh dibilang sangat menggembirakan. Itu tercermin pada nilai tukar rupiah yang relatif stabil; inflasi rendah (sekitar 6,4%, jauh dibawah target pemerintah sebesar 8% pada 2006); tingkat suku bunga SBI terus menurun; ISHG mencatat rekor tertinggi dalam sejarah, bahkan sempat menembus angka 1800; cadangan devisa cukup mantap; dan meskipun masih di bawah target pemerintah (5,8%) pertumbuhan ekonomi pun cukup baik, sekitar 5,6% untuk 2006.  Lebih dari itu, Indeks Tendensi Bisnis pun meningkat dari 108,7 pada triwulan III-2006 menjadi 110,8 pada triwulan IV-2006.  Demikian juga halnya dengan Indeks Tendensi Konsumen membaik dari 109,2 pada triwulan III-2006 menjadi 109,8 pada triwulan IV-2006.
            Persoalannya adalah bahwa keberhasilan makroekonomi di akhir 2006 tersebut hampir bertolak belakang dengan kondisi kehidupan keseharian mayoritas rakyat Indonesia yang semakin hari semakin sengsara. Angka pengangguran terbuka membengkak dari 10,9 juta orang (10,3%) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta orang (10,4%) pada Februari 2006 karena banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan langkanya lapangan kerja baru.  Sedangkan angka pengangguran semi terbuka mencapai 40 juta atau 37% dari total angkatan kerja nasional 107 juta orang.  Menurut standar garis kemiskinan pemerintah, jumlah orang miskin pun meningkat dari 35,10 juta orang pada Februari 2005 menjadi 39,05 juta orang pada Februari 2006.  Sementara itu, jika standar garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari) yang kita gunakan, maka jumlah orang miskin Indonesia sebenarnya adalah 108 juta orang (45% dari jumlah penduduk).  Bila kita gagal memerangi pengangguran dan kemiskinan, maka keduanya bakal menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak berupa penjarahan, perampokan, pembunuhan, bahkan tidak mustahil revolusi sosial. 
           
Pertumbuhan ekonomi berkualitas
            Stabilitas makroekonomi 2006 bisa menjadi modal dasar untuk membangkitkan kinerja sektor riil yang dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, sekaligus mengurangi angka kemiskinan secara signifikan pada tahun 2007 dan seterusnya.  Untuk itu, pemerintah bersama komponen bangsa lainnya (lembaga legislatif, yudikatif, swasta, dan masyarakat) harus melakukan dua terobosan mendasar, yakni penyempurnaan kebijakan pembangunan ekonomi dan cara-cara kita bekerja.
            Pada tataran kebijakan (policy level) permasalahan pengangguran dan kemiskinan yang akut ini hanya dapat diatasi dengan menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7% per tahun), dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (300.000 – 400.000 tenaga kerja per 1% pertumbuhan), dan berkelanjutan (sustainable). Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas semacam ini hanya dapat diwujudkan melalui investasi di sektor riil yang produktif dan efisien baik berupa investasi baru maupun penguatan yang ada.  Bukan seperti yang selama ini terjadi, sebagian besar investasi dan bisnis hanya di sektor konsumsi dan sektor keuangan, seperti saham, valuta asing, dan lainnya.  Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh investasi di sektor konsumtif dan jasa keuangan pada umumnya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya yang tinggal di daerah perkotaan, dan hanya menyerap sedikit tenaga kerja, sekitar 40.000 orang per 1% pertumbuhan.
            Pada tataran praksis, pertumbuhan ekonomi berkualitas dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan ... agenda kebijakan pembangunan berikut. Pertama, peningkatan produktivitas dan efisiensi secara berkelanjutan setiap unit usaha (business entity) sektor ekonomi SDA terbarukan di seluruh Nusantara yang meliputi: tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan, dan industri bioteknologi.  Ini mesti ditempuh melalui penerapan teknologi tepat-guna dan sistem bisnis terpadu (dari sub-sistem produksi, pasca panen, sampai pemasaran) untuk setiap unit usaha atau kumpulan beberapa unit usaha (corporate agribusiness), sehingga memenuhi economy of scale.  Akan lebih baik bila setiap Kabupaten/Kota fokus pada pengembangan beberapa produk (komoditas) unggulan sesuai kondisi fisik dan sosial-budaya daerah masing-masing.  Semacam program Óne Village, One Product’ nya Jepang. 
Dengan demikian, produktivitas dan efisiensi usaha dapat terdongkrak. Perdagangan produk SDA terbarukan antar Kabupaten/Kota pun akan tumbuh-kembang secara saling menguntungkan melalui koordinasi Pemerintah Provinsi dan Pusat.  Produk dan komoditas yang dihasilkan akan berdaya saing tinggi, sehingga melalui koordinasi dan fasilitasi Pemerintah Pusat, Indonesia bukan hanya akan mampu berswasembada pangan, bioenergi, dan beragam produk industri bioteknologi; tetapi bakal menjadi eksportir berbagai produk dan komoditas SDA terbarukan khas tropik terbesar di dunia.  Produk dan komoditas ekspor dimaksud antara lain berupa: CPO, karet, coklat, teh, kopi, pala, lada, vanilla, gambir, pisang abaca (perkebunan); mangga dan buah-buahan lainnya, sayur-sayuran, dan anggrek dan bunga-bungan lainnya (hortikultur); kayu dan produk non-kayu hutan (kehutanan); udang, kepiting, rajungan, ikan tuna, kerapu, kakap, bawal, sardine, tenggiri, layur, mutiara, abalone, rumput laut, katak, nila, patin jambal, dan ikan hias (perikanan); dan bioethanol dan biodiesel (biofuels).  Lebih dari itu, seiring dengan meningkatnya kecenderungan global terhadap konsumsi obat-obatan dan penggunaan kosmetik dari alam (organic medicines and cosmetics), maka dengan menerapkan bioteknologi di bidang kedokteran, kelautan dan perikanan, pertanian dan pangan, Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi di dunia sangat berpeluang menjadi produsen sekaligus eksportir terbesar produk farmasi dan kosmetik berasal dari flora dan fauna tropik.  Produksi berbagai produk/komoditas tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, dan peternakan dapat dilakukan melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi khususnya dengan memanfaatkan lahan kritis yang kini luasnya mencapai 22 juta ha, atau diversifikasi jenis. Singkat kata, mari kita manfaatkan setiap jengkal tanah dan perairan (laut) untuk memproduksi SDA terbarukan.
Kedua, lahan pertanian dan perairan produktif hendaknya kita pertahankan, jangan dikonversi untuk kawasan industri, permukiman, dan peruntukan lainnya melalui implementasi tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional secara konsisten. Ketiga, program nasional diversifikasi pangan non-beras secara seimbang dan bergizi yang telah dicanangkan sejak Orde Baru harus lebih diperkuat dan dikembangkan guna menjamin tercapainya ketahanan pangan nasional.
Keempat, pengembangan industri pengolahan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah serta sejumlah multiplier effects ekonomi.  Industri pengolahan hasil ini mesti dibangun di setiap kawasan produksi SDA terbarukan guna menjamin pasar dan stabilitas harga produk primer (bahan mentah), sehingga menguntungkan para produsen (petani, nelayan, pekebun, dan lainnya).  Sudah saatnya kita pun memproduksi tepung dari beras, jagung, sagu, sorgum, garut, dan lainnya, sehingga selain kita meningkatkan nilai tambah, juga secara bertahap melepas ketergantungan impor tepung gandum yang nilainya milyaran dolar setiap tahunnya.  Kelima, pengembangan industri pendukung seperti peralatan dan mesin pertanian (traktor, penggilingan padi, pengering, pemintal sutera, mesin-mesin pengolah hasil pertanian dan perkebunan, dll); mesin dan peralatan kapal, alat penangkap ikan, fish finder, kincir air tambak, mesin pembuat tepung ikan dan pellet; dan mesin pabrik pulp dan kertas; dan lainnya. 
Keenam, peningkatan penguasaan dan penerapan IPTEK yang berkaitan dengan seluruh aspek bisnis dan ekonomi SDA terbarukan melalui implementasi sistem penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara terpadu, yang mencakup ilmu dinamika ekosistem dan SDA terbarukan; sub-sistem produksi (genetika, nutrisi, hama & penyakit, pengelolaan tanah & air, agricultural engineering, remote sensing, GIS, acoustics, dll); sub-sistem handling and processing/pasca panen (biokimia, bioteknologi pangan, bioteknologi kedokteran dan farmasi, kosmetik, mesin pengolahan, teknologi pengemasan, dll); sub-sistem distribusi dan pemasaran (ITC, marketing, transportasi, dll).  Penguasaan dan penerapan IPTEK ini sangat mendasar agar setiap produk atau komoditas SDA terbarukan yang kita hasilkan berdaya saing tinggi, sehingga mampu bersaing bukan hanya di pasar domestik, tetapi juga pasar global.  Ketujuh, sejak sekarang kita harus menyatakan perang terhadap berbagai kegiatan ekonomi illegal.
Kedelapan agar keenam agenda pembangunan tersebut dapat terlaksana secara optimal, maka Pemerintah bersama DPR mengimplementasikan kebijakan politik-ekonomi yang bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor-sektor ekonomi SDA terbarukan.  Aset ekonomi produktif, khususnya modal, infrasrtuktur, informasi, dan pasar harus disediakan untuk mayoritas rakyat yang bekerja  pada sektor-sektor ekonomi SDA terbarukan.  Sudah saatnya Indonesia memiliki Bank Khusus untuk sektor SDA terbarukan (policy banking) dengan persyaratan dan tingkat bunga khusus.  Dalam pada itu, departemen terkait (Deptan, DKP, Dephut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dan Depdagri) bersama Pemda menyiapkan dan membina masyarakat secara teknis dan manajemen, sehingga mereka siap untuk menerima kredit khusus tersebut untuk usaha/bisnis SDA terbarukan secara menguntungkan dan bankable.  Melalui perbaikan manajemen dan kontrak kerjasama di sektor migas dan pertambangan umum, keuntungan yang lebih besar hendaknya diinvestasikan untuk sektor-sektor ekonomi SDA terbarukan. Kita pun harus melindungi dan mempromosikan produk-produk SDA terbarukan dari serbuan produk impor di era free trade yang belum fair (double standard) ini.


[1] Guru Besar Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB; Ketua Komite Pengembangan Ekonomi Maritim-KADIN

0 komentar:

Popular Posts