Bioenergi untuk membantu ekonomi maritim

Jumat, 11 November 2011

BIOENERGI UNTUK MEMBANTU EKONOMI MARITIM
Oleh : Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

            Melonjaknya harga minyak dunia hingga mencapai US$ 70 per barel telah mempengaruhi berbagai aktivitas perekonomian di Indonesia dan juga di seluruh belahan dunia. Hal ini dapat terjadi karena anggaran yang semestinya digunakan untuk pembangunan berbagai infrastruktur dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersedot untuk mensubsidi penyediaan BBM dalam negeri.
            Selain karena kecenderungan naiknya harga minyak dunia, beban APBN kita juga semakin berat akibat terus meningkatnya konsumsi BBM nasional yang diperkirakan mencapai 5 % per tahun. Data pertamina menunjukan terjadi peningkatan konsumsi BBM pada bulan Mei  sampai Agustus 2005 yaitu dari 45.000 kiloliter pada bulan Mei, 48.000 kiloliter pada bulan Juli dan menjadi 50.000 kiloliter pada bulan Agustus, ini untuk konsumsi premium. Demikian halnya yang terjadi dengan konsumsi solar juga terus mengalami kenaikan dari 64.000 kililiter bulan Mei menjadi 73.000 kiloliter pada bulan Agustus (Kompas, 2005).
            Krisis energi ini terjadi semata-mata tidak hanya disebabkan naiknya harga minyak dunia ataupun meningkatnya jumlah konsumsi BBM (semakin meningkatnya jumlah penduduk) tetapi karena juga semakin menipisnya jumlah cadangan minyak. Bila pada tahun 1980-an produksi Indonesia mencapai puncak-puncaknya maka saat ini produksi minyak terus mengalami penurunan yaitu hanya sekitar 1,2 juta barel/hari padahal sebelumnya mencapai 1,6 juta barel/hari. Keadaan ini menurunkan kemampuan ekspor minyak mentah (crude oil), sedangkan disisi lain konsumsi BBM yang meningkat membutuhkan     tambahan impor baik berupa crude oil, BBM (oil base fuels) dan minyak lainya (oil products) sehingga keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi net importer oil.
            Permasalahan energi ini akan sangat berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi terutama pada sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Dari seluruh golongan masyarakat, kegiatan ekonomi maritim adalah yang paling terpukul dengan adanya krisis energi ini. Karena mulai dari usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pelayaran (transortasi laut) dan industri pengolahan ikan dipastikan memerlukan BBM. Seperti misalnya pada perikanan tangkap, biaya untuk solar mengambil lebih dari 60% biaya operasional untuk sekali melaut, dengan adanya kenaikan harga solar dan kelangkaaan pasokan BBM tentu sangat menyulitkan para nelayan terutama para nelayan tradisional (kapal dibawah 30 GT). Saat ini para nelayan lebih memilih menyandarkan kapalnya karena biaya opersasional untuk melaut tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang didapat. Bahkan dibeberapa daerah para nelayan harus rela mencampur minyak tanah dengan solar atau bahkan ada yang 100% menggunakan minyak tanah untuk menggantikan solar sebagai bahan bakar untuk kapalnya, hal ini tentu akan mengakibatkan mesin kapal menjadi cepat rusak.
            Tak hanya para nelayan tradisional saja yang merasa terancam dengan adanya krisis BBM, perusahan perikanan tangkap berskala besar pun terancam gulung tikar. Betapa tidak, dalam satu kali melaut kapal tuna long line (kapal 30 GT) membutuhkan setidaknya 120 kiloliter (KL) solar. Oleh karena itu jika pasokan BBM tersendat akan berakibat pada berhentinya produksi penangkapan tuna. Dengan kondisi seperti ini kita terancam akan kehilangan devisa jutaan dolar dengan lumpuhnya usaha perikanan tangkap, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah kita harus rela mengijinkan kapal asing untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini sesuai dengan peraturan internasional Unclos tahun 1982 pasal 2 dan 6 dimana disebutkan jika suatu negara tidak mampu mengelola wilayah ZEE-nya maka negara tersebut wajib untuk mengijinkan negara lain untuk mengelola wilayah ZEE-nya.
            Adapun salah satu strategi penanggulangan krisis energi minyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk membantu sektor ekonomi maritim adalah dengan menerapkan energi alternatif terbaharukan (renewable energy) yaitu bioenergi. Untuk bioenergi Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di dunia.  Menurut departemen pertanian lebih dari 50 jenis tanaman yang ada di Indonesia dapat diekstrak dan diproses untuk menghasilkan biodiesel dan bioethanol menghasilkan yang memungkinkan menggantikan solar dan bensin dalam volume yang sangat besar, tanaman tersebut antara lain adalah jarak, tebu, singkong, jagung, sawit, kelapa, dan bunga matahari.  Selain lebih murah dan memiliki sifat renewable biodegradable, bioenergi dapat membantu memecahkan masalah lahan kritis di Indonesia yang luasnya 22 juta Ha (Deptan, 2004).
            Dalam perkembangannya Indonesia sebenarnya telah mampu memproduksinya, kita telah memiliki teknologi dan bahkan pasarnya seperti yang telah dilakukan oleh Yayasan Perisai Laut Indonesia (YPLI) dan RAP Bioindustry, namun kebanyakan kita masih mengalami kendala dalam permodalan.
            Oleh karena itu seluruh stakeholders bangsa harus bersama-sama mengembangkan biodiesel ini, pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan mengenai pengembangan energi ini dan membantu agar perbankkan mengucurkan dananya bagi pembangunan industri biodiesel, swasta diharapkan menanamkan modalnya untuk pengembangan industi biodiesel kemudian masyarakat bersama berbagai pihak lainya diharapkan mendukung pengembangan energi alternatif biodiesel untuk masa depan. 

0 komentar:

Popular Posts