Mensinergikan Makro Ekonomi dan Sektor Riil

Jumat, 11 November 2011

Mensinergikan Makroekonomi dan Sektor Riil
Oleh
Rokhmin Dahuri[1]
            Memasuki 2007, kita menghadapi kondisi perekonomian yang sangat paradoks. Kondisi makroekonomi boleh dibilang sangat menjanjikan. Itu tercermin pada nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi rendah, tingkat suku bunga SBI terus menurun, ISHG mencatat rekor tertinggi dalam sejarah dan sempat menembus angka 1800, cadangan devisa mantap, dan meskipun kurang berkualitas pertumbuhan ekonomi sepanjang 2006 pun cukup baik, sekitar 5,6%. Dan, yang lebih spektakuler adalah keputusan berani dan benar Pemerintah untuk membubarkan CGI sebagai langkah strategis untuk kita mandiri secara ekonomi guna menjadi bangsa besar dan makmur.
            Persoalannya adalah bahwa keberhasilan makroekonomi tersebut hampir bertolak belakang dengan kondisi kehidupan keseharian mayoritas rakyat Indonesia yang semakin hari semakin sengsara. Tingkat kesejahteraan mereka terus menurun, dan daya beli mereka pun semakin merosot. Ditambah lagi dengan berbagai bencana alam, wabah penyakit, dan kecelakaan lalu lintas darat, laut maupun udara yang seolah tak ada hentinya sejak Pemerintahan SBY-JK berkuasa, lengkaplah sudah penderitaan rakyat kecil kita.  Angka pengangguran terbuka membengkak dari 10,9 juta orang (10,3%) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta orang (10,4%) pada Februari 2006 karena banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan langkanya lapangan kerja baru.  Sedangkan angka pengangguran semi terbuka mencapai 40 juta atau 37% dari total angkatan kerja nasional 107 juta orang.  Menurut standar garis kemiskinan pemerintah, jumlah orang miskin pun meningkat dari 35,10 juta orang pada Februari 2005 menjadi 39,05 juta orang pada Februari 2006.  Sementara itu, jika standar garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari) yang kita gunakan, maka jumlah orang miskin Indonesia sebenarnya mencapai 108 juta orang atau 45% dari jumlah penduduk.  Bila kita gagal memerangi pengangguran dan kemiskinan, maka keduanya bakal menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak berupa penjarahan, perampokan, pembunuhan, dan berbagai patologi sosial lainnya, bahkan tidak mustahil memicu revolusi sosial. 
           
Pertumbuhan ekonomi berkualitas
            Stabilitas makroekonomi 2006 dan lepasnya kita dari penjajah ekonomi asing (IMF dan CGI) mesti kita jadikan modal dasar untuk membangkitkan kinerja sektor riil yang dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, sekaligus mengurangi angka kemiskinan secara signifikan pada tahun 2007 dan seterusnya.  Untuk itu, pemerintah bersama komponen bangsa lainnya (lembaga legislatif, yudikatif, swasta, dan masyarakat) harus melakukan dua terobosan mendasar, yakni penyempurnaan kebijakan pembangunan ekonomi dan cara-cara kita sebagai bangsa bekerja.
            Pada tataran kebijakan, permasalahan pengangguran dan kemiskinan hanya dapat diatasi dengan menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7% per tahun), dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (300.000 – 400.000 tenaga kerja per 1% pertumbuhan), mampu mensejahterakan seluruh rakyat secara adil, dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas semacam ini hanya dapat diwujudkan melalui investasi di sektor riil yang produktif dan efisien baik berupa investasi baru maupun penguatan yang ada.  Bukan seperti yang selama ini terjadi, sebagian besar investasi dan bisnis hanya di sektor konsumsi dan sektor keuangan.  Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh investasi di sektor konsumtif dan jasa keuangan pada kenyataannya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya yang tinggal di daerah perkotaan, dan hanya menyerap sedikit tenaga kerja, sekitar 40.000 orang per 1% pertumbuhan.
            Pada tataran praksis, pertumbuhan ekonomi berkualitas dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan sepuluh agenda kebijakan pembangunan berikut. Pertama, peningkatan produktivitas dan efisiensi secara berkelanjutan setiap unit usaha (business entity) sektor ekonomi SDA terbarukan meliputi: tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan, dan industri bioteknologi.  Ini mesti ditempuh melalui penerapan teknologi dan sistem bisnis terpadu (dari sub-sistem produksi, pasca panen, sampai pemasaran) untuk setiap unit usaha atau kumpulan beberapa unit usaha (corporate business), sehingga memenuhi economy of scale.  Akan lebih baik bila setiap Kabupaten/Kota fokus pada pengembangan beberapa produk (komoditas) unggulan sesuai kondisi biofisik dan sosial-budaya daerah masing-masing.  Semacam program Óne Village, One Product’ nya Jepang. 
Dengan demikian, produktivitas dan efisiensi usaha dapat terdongkrak. Perdagangan produk SDA terbarukan antar Kabupaten/Kota pun akan tumbuh-kembang secara saling menguntungkan melalui koordinasi Pemerintah Propinsi dan Pusat.  Produk dan komoditas yang dihasilkan akan berdaya saing tinggi, sehingga melalui koordinasi dan fasilitasi Pemerintah Pusat, Indonesia bukan hanya akan mampu berswasembada pangan, bioenergi, dan beragam produk industri bioteknologi; tetapi bakal menjadi eksportir berbagai produk dan komoditas SDA terbarukan khas tropik terbesar di dunia.  Produk dan komoditas ekspor dimaksud antara lain berupa: CPO, karet, coklat, teh, kopi, pala, lada, vanilla, gambir, pisang abaca (perkebunan); mangga dan buah-buahan lainnya, sayur-sayuran, dan anggrek dan bunga-bungan lainnya (hortikultur); kayu dan produk non-kayu hutan (kehutanan); udang, kepiting, rajungan, ikan tuna, kerapu, kakap, bawal, sardine, tenggiri, layur, mutiara, abalone, rumput laut, katak, nila, patin jambal, dan ikan hias (perikanan); dan bioethanol dan biodiesel (biofuels).  Lebih dari itu, seiring dengan meningkatnya kesadaran global terhadap konsumsi obat-obatan dan penggunaan kosmetik dari alam (organic medicines and cosmetics), maka dengan menerapkan bioteknologi di bidang farmasi, kedokteran, kelautan dan perikanan, pertanian dan pangan, Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi di dunia sangat berpeluang menjadi produsen sekaligus eksportir terbesar produk farmasi dan kosmetik berasal dari flora dan fauna tropik.  Produksi berbagai produk/komoditas tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, dan peternakan dapat dilakukan melalui usaha intensifikasi dan ekstensifikasi khususnya dengan memanfaatkan lahan kritis yang kini luasnya mencapai 22 juta ha, atau diversifikasi jenis. Singkat kata, mari kita manfaatkan setiap jengkal tanah dan perairan (laut) untuk memproduksi SDA terbarukan sebagai keunggulan kompetitif.
Lahan pertanian dan perairan produktif hendaknya kita pertahankan, jangan dikonversi untuk kawasan industri, permukiman, dan peruntukan lainnya melalui implementasi tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional secara konsisten. Program nasional diversifikasi pangan non-beras secara seimbang dan bergizi yang telah dicanangkan sejak Orde Baru harus lebih diperkuat dan dikembangkan guna menjamin tercapainya ketahanan pangan nasional.  Penguatan dan pengembangan industri pengolahan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah serta sejumlah multiplier effects ekonomi.  Industri pengolahan hasil ini mesti dibangun di setiap kawasan produksi SDA terbarukan guna menjamin pasar dan stabilitas harga produk primer (bahan mentah), sehingga menguntungkan para produsen (petani, nelayan, pekebun, dan lainnya).  Sudah saatnya kita pun memproduksi tepung dari beras, jagung, sagu, sorgum, garut, dan lainnya. Sehingga, selain kita meningkatkan nilai tambah, juga secara bertahap melepas ketergantungan impor tepung gandum yang nilainya milyaran dolar setiap tahunnya.  Pengembangan industri pendukung seperti peralatan dan mesin pertanian (traktor, penggilingan padi, pengering, pemintal sutera, mesin-mesin pengolah hasil pertanian dan perkebunan, dll); mesin dan peralatan kapal, alat penangkap ikan, fish finder, kincir air tambak, mesin pembuat tepung ikan dan pellet; dan mesin pabrik pulp dan kertas; dan lainnya. 
Peningkatan penguasaan dan penerapan IPTEK yang berkaitan dengan seluruh aspek bisnis dan ekonomi SDA terbarukan melalui implementasi sistem penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara terpadu, yang mencakup ilmu dinamika ekosistem dan SDA terbarukan; sub-sistem produksi (genetika, nutrisi, hama & penyakit, pengelolaan tanah & air, agricultural engineering, remote sensing, GIS, acoustics, dll); sub-sistem handling and processing/pasca panen (biokimia, bioteknologi pangan, bioteknologi kedokteran dan farmasi, kosmetik, mesin pengolahan, teknologi pengemasan, dll); sub-sistem distribusi dan pemasaran (ITC, marketing, transportasi, dll).  Penguasaan dan penerapan IPTEK ini sangat mendasar agar setiap produk atau komoditas SDA terbarukan yang kita hasilkan berdaya saing tinggi, sehingga mampu bersaing bukan hanya di pasar domestik, tetapi juga pasar global. 
Kedua, revitalisasi industri-industri yang sebelum krisis ekonomi menjadi unggulan Indonesia dan sumber pertumbuhan ekonomi serta penyedia lapangan kerja dalam jumlah besar, termasuk: elektronik; otomotif; tekstil, kulit, dan alas kaki; pupuk; semen; alat transportasi; kertas dan percetakan; besi dan baja; dan industri perkapalan.  Ketiga, pengelolaan sektor ESDM (energi dan sumberdaya mineral) secara lebih cerdas, ramah lingkungan, dan menguntungkan bangsa sendiri.  Bukan seperti selama ini lebih menguntungkan asing.  Pada dasarnya kitalah yang harus memanfaatkan dan mengelola ESDM untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa.  Kalaupun kita bekerjasama dengan pihak asing, mereka bekerja untuk kita, bukan sebaliknya seperti yang selama ini terjadi.  Kita bisa meneladani Malaysia, Australia, Kanada, dan Bolivia yang mampu menjadikan sektor ESDM sebagai sumber kemajuan, kemakmuran, dan kemandirian bangsanya. Tidak susah sebenarnya, kalau para elit penguasa negeri ini mau serius dan tulus membangun bangsa.  Keempat, pembangunan infratrusktur (air bersih, listrik, telekomunikasi, jalan, pelabuhan, jaringan irigasi, dll) yang mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi perekonomian, khususnya ketiga sektor ekonomi riil di atas, serta memberi manfaat luas bagi masyarakat.  Pembangunan infrastruktur juga harus dapat menunjang produktivitas dan efisiensi ketiga bidang ekonomi riil di atas. Sudah saatnya pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah padat penduduk dan/atau padat industri (pembangunan), seperti Jawa, Bali, Medan, Balikpapan, Bontang, Makassar,  dan Timika, diserahkan kepada swasta.  Sementara, dana APBN diprioritaskan untuk membangun wilayah-wilayah tertinggal di luar Jawa dan Bali, pulau-pulau kecil serta daerah perbatasan.  Kelima, untuk memanfaatkan akumulasi kelebihan likuiditas di sektor keuangan yang semakin membengkak dan mencapai Rp 235 triliun yang tersimpan dalam bentuk SBI per Januari 2007 (Kompas, 1/02/2007 halaman 19), setiap depertemen yang terkait dengan kegiatan sektor ekonomi riil di atas harus meningkatkan kinerjanya dengan target dan program terencana dan terukur.  Selain itu, departemen-departemen dimaksud hendaknya bekerjasama secara sinergis dengan pemerintah daerah untuk bersama-sama swasta (pengusaha) dan masyarakat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahanya, sehingga bankable. Sudah saatnya Indonesia memiliki Bank Khusus untuk sektor SDA terbarukan (policy banking) dengan persyaratan dan tingkat bunga khusus.  Dalam pada itu, departemen terkait (Deptan, DKP, Dephut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dan Depdagri) bersama Pemda menyiapkan dan membina masyarakat secara teknis dan manajemen, sehingga mereka siap untuk menerima kredit khusus tersebut untuk usaha/bisnis SDA terbarukan secara menguntungkan dan bankable.   Pada saat yang sama, pihak perbankan pun harus proaktif, menjemput bola, terjun ke lapang untuk membiayai investasi dan bisnis sektor riil yang telah dibina pemerintah dan pengusaha.
Keenam, karena produktivitas, efisiensi dan daya saing ekonomi yang menentukan maju-mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas SDM, maka pembangunan kesehatan, pendidikan, dan akhlaq (spiritual) bangsa haruslah diprioritaskan dan disempurnakan. Tidak ada tawar menawar lagi soal pembangunan SDM ini. Enough is enough ! Kalau tidak, tunggu saat kehancuran kita sebagai bangsa (a failed nation-state).  Ketujuh, sejak sekarang kita harus menyatakan perang terhadap berbagai kegiatan ekonomi illegal, termasuk illegal loging, illegal fishing, BBM, beras, pupuk, pakaian, elektronik, narkoba, dan lainnya.  Kedelapan, reformasi birokrasi harus sekarang juga dilaksanakan.  Seluruh jajaran birokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan TNI serta POLRI) dari tingkat pusat sampai daerah harus punya persepsi sama bahwa birokrasi adalah amanah unutk melayani publik.  Bukan untuk kepentingan golongan, apalagi pribadi.  Mindset birokrasi kita harus berubah secara revolusioner.  Dari dilayani menjadi melayani. Dari memperlambat menjadi mempercepat (prinsip zero-time response ala Singapura, just in time delivery, dll). Dari mempersulit menjadi mempermudah.  Reformasi birokrasi ini hanya bisa terealisir, bila tiga resep utama secara simultan dilaksanakan: (1) besaran dan sistem penggajian birokrasi yang manusiawi tidak dibuat ‘munafik’seperti selama ini, dalam hal ini kita bisa mencontoh Malaysia; (2) reward and punishment bagi yang berprestasi dan yang pecundang secara adil dan konsisten, untuk yang satu ini cara-cara Singapura dan RRC bisa kita tiru; dan (3) teladanan dari atas, Presiden, Wapres, para menteri, gubernur, bupati/walikota, para anggota DPR/DPRD/DPD, hakim, jaksa, para jenderal TNI dan POLRI
Kesembilan, kebijakan makroekonomi (moneter dan fiskal) seperti penetapan nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga, laju inflasi, dan defisit anggaran hendaknya dirancang untuk membuahkan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang mampu menyediakan lapangan kerja dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Mari kita tinggalkan, ukuran keberhasilan ekonomi yang hanya mendasarkan pada inflasi rendah, nilai tukar rupiah, ISHG, dan rendahnya defisit anggaran yang acap kali tidak nyambung dengan tujuan utama (the ultimate goal) dari pembangunan ekonomi itu sendiri, yaitu meningkatnya kapasitas dan kesejahteraan rakyat.  Selain itu, di era globalisasi ini, kebijakan makroekonomi harus pula menunjang terbentuknya ekonomi nasional yang berdaya saing yakni yang mampu memacu produktivitas dan efisiensi sektor ekonomi riil. Dan, selanjutnya melahirkan dari rahimnya perusahaan-perusahaan kelas dunia yang tidak hanya mampu menangkis gempuran berbagai produk impor di pasar domestik, tetapi juga mampu memenangkan persaingan di pasar internasional.
Kesepuluh, perbaikan iklim investasi yang meliputi konsistensi kebijakan ekonomi pemerintah, penghapusan ekonomi biaya tinggi dan budaya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), kepastian hukum, keamanan berusaha, ketenagakerjaan, dan perpajakan harus dapat dilaksanakan mulai tahun ini.
Akhirnya, kesepuluh agenda pembangunan di atas dapat terealisir dan niscaya mampu memerangi pengangguran dan kemiskinan menuju Indonesia maju, makmur dan mandiri pada 2025, bila segenap komponen bangsa (pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif, swasta, masyarakat, dan kelompok oposisi) bekerja secara sinergis, keras, cerdas, dan ikhlas karena Allah swt untuk kepentingan bangsa.


[1] Guru Besar Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB; Ketua Komite Pengembangan Ekonomi Maritim-KADIN

0 komentar:

Popular Posts