Solusi Teknis Spiritual Menjinakan Banjir

Jumat, 11 November 2011

SOLUSI TEKNIS DAN SPIRITUAL MENJINAKKAN BANJIR
Oleh
Rokhmin Dahuri

            Banjir bandang lima tahunan kembali melumpuhkan Jakarta pada awal Februari tahun ini dengan luasan kawasan yang kebanjiran sekitar 70% luas total wilayah DKI Jakarta, dua kali lipat dari pada yang terjadi pada banjir bandang 2002. Akibatnya, jumlah korban jiwa, rumah yang terendam, kerusakan prasarana dan sarana pembangunan, kerugian sosial-ekonomi, gangguan jiwa, dan lainnya pun lebih parah ketimbang tahun 2002.  Banjir memang merupakan fenomena alam (sunatullah) yang bisa terjadi di negara-bangsa mana saja di dunia.  Yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain tentang banjir adalah sikap kita yang tidak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu, tidak ikhlas, tidak serius, tidak sistematis dan komprehensif, dan tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, termasuk banjir yang sebenarnya relatif mudah karena sifatnya yang periodik atau bisa diantisipasi sebelum kejadian. 
Kebanyakan kita, baik para pemimpin bangsa, elit politik, pengusaha/swasta maupun masyarakat dalam mengatasi persoalan tidak sampai pada akar masalahnya, bersifat riya (pamer) agar dinilai publik sebagai pemimpin yang peduli, dan ‘hangat-hangat tahi ayam’.  Yang penting bagi para pemimpin dan elit bangsa begitu banjir datang, mereka mengunjungi lokasi bencana, bagi-bagi perahu karet, sembako, obat-obatan, pakaian, mendirikan tempat penampungan, dan kebutuhan lainnya serta mengadakan sejumlah rapat.  Selanjutnya diliput media masa, baik cetak maupun elektronik.  Kemudian, setelah bencana banjir reda, sebulan atau tiga bulan tak ada liputan media masa tentang banjir.  Ya sudah kita tidak bekerja lagi untuk secara ikhlas dan tuntas menyelesaikan persoalan banjir.  Begitulah cara-cara kita sebagai bangsa mengatasi hampir semua permasalahan bangsa.  Wajar, kalau setiap tahun atau periode waktu tertentu kita secara berulang selalu tidak siap menghadapi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan asap, gempa bumi, tsunami, wabah penyakit, dan kecelakaan lalu lintas darat, laut, maupun udara.  Alih-alih, yang terjadi justru aksi saling menyalahkan antara komponen bangsa. Dampak negatip berupa korban jiwa, hancurnya prasanana dan sarana pembangunan, kerugian sosial-ekonomi, serta derita rakyat kecil pun dari waktu ke waktu bertambah parah.  Dengan kata lain, ‘selalu saja kita jatuh dalam lubang yang sama’. 
            Oleh sebab itu, kalau kita serius hendak memecahkan masalah banjir secara tuntas, khususnya di Ibu Kota Negara, dan tidak mau disebut sebagai ’bangsa keledai’, maka kita harus mengatasinya secara sistemik, komprehensif, dan terintegrasi.  Mengingat persoalan banjir tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga aspek etos kerja dan akhlaq, maka kita pun harus menjinakkannya melalui jurus kombinasi teknis dan spiritual.

Akar masalah banjir
            Secara sederhana, banjir terjadi di suatu kawasan bila masukan air yang berasal dari hujan di kawasan tersebut dan/atau dari air hujan dari kawasan hulu (di atasnya) baik melalui aliran air sungai maupun run-off (aliran permukaan) jumlahnya lebih besar ketimbang yang teralirkan ke laut melalui sungai, saluran pembuang maupun run-off dan yang terserap ke dalam tanah pada periode waktu tertentu.  Karenanya, bencana banjir paling dahsyat di kawasan pesisir macam Jakarta bisa terjadi manakala hujan lebat turun di kawasan Bogor, Puncak serta daerah hulu lainnya bersamaan dengan hujan lebat di Jakarta sendiri, ditambah laut sedang pasang naik. 
            Sebagai bangsa yang beriman, kita meyakini bahwa kapan, dimana dan seberapa lebat hujan turun yang menentukan hanya Allah swt, Maha Pencipta Alam Semesta dan semua unsur serta proses alam yang ada di dalamnya.  Namun, yang berkaitan dengan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh banjir akibat hujan sangat bergantung pada perilaku kita manusia.  Fakta ini sesuai dengan firman Allah swt: ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar-Rum [30]: 41).
            Atas dasar pemahaman teknis tentang banjir dan iman kita kepada Allah, maka akar permasalahan (root causes) banjir Jakarta beserta segenap dampak negatipnya akibat ulah manusia bersumber pada: (1) buruknya sistem drainase; (2) tersumbatnya sungai-sungai dan saluran-saluran ke laut; (3) terlalu kecil dan terus menyusutnya daerah resapan air; (4) rusaknya fungsi hidroorologis 13 DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mengaliri Jakarta mulai dari hulu (Bogor-Puncak-Cianjur) sampai ke muara; (5) tidak diimplementasikannya tata ruang wilayah Jakarta dan Bopunjur secara benar dan konsisten; (6) penurunan permukaan tanah dan peningkatan permukaan laut akibat pemanasan global; (7) rendahnya etos kerja birokrasi pemerintahan; (8) budaya mayoritas pengusaha/swasta yang hanya mengejar keuntungan semaksimal mungkin tanpa peduli dengan kepentingan sosial, lingkungan, dan bangsanya (rent-seeking behaviour); (9) entah karena ketidaktahuan, keterpaksaan, atau memang nakal sebagian besar masyarakat pun tidak taat hukum, kurang peduli sosial dan lingkungan, dan sejumlah perilaku negatif lainnya yang dapat menyebabkan banjir; dan (10) langkanya pemimpin yang ikhlas, cerdas, tegas, dan dapat diteladani, satunya kata dan perbuatan.

Solusi teknis terpadu
            Penanganan masalah banjir Jakarta secara tuntas hanya dapat terwujud melalui program pengendalian secara terpadu berbasis DAS dari hulu sampai hilir.  Mengatasi banjir di daerah hilir (wilayah DKI Jakarta) tanpa membenahi daerah hulu (Bopunjur)  akan sia-sia belaka. Buruknya kondisi penggunaan lahan yang ada di daerah hulu yang tercermin dari minimnya kawasan lindung dan terbuka hijau serta semakin sempit dan tersumbat nya S.Ciliwung, mengakibatkan limpahan air banjir dari hulu akan selalu lebih besar ketimbang daya tampung badan sungai.
Sehubungan dengan besarnya volume air ketika musim hujan (terutama setiap siklus lima tahunan), maka untuk daerah hilir kita mesti menerapkan kombinasi tiga konsep pengelolaan tata air secara simultan dan terpadu.  Pertama adalah mengendalikan aliran air dari daerah hulu (banjir kiriman) ke sungai dan membatasi volume air masuk ke wilayah kota. Untuk itu, pembangunan saluran kolektor untuk menampung limpahan air yang dialirkan melalui sisi timur kota (Banjir Kanal Timur, BKT) harus segera dirampungkan. Pada saat yang sama, Banjir Kanal Barat (BKB) untuk menampung limpahan air yang dialirkan lewat sisi barat kota harus ditinggikan dan direhabilitasi, karena banyak yang rusak, mengalami penyempitan dan penyumbatan.  BKB dan BKT keduanya diperkirakan mampu menampung limpahan air dari 40% wilayah DKI Jakarta. Selanjutnya, air dari kedua kanal tersebut harus dengan cepat dialirkan ke laut dengan menggunakan sistem polder dan pompa. Jika kita mampu mendesain dan membangun sistem polder dengan benar seperti halnya negeri Belanda, sistem ini niscaya dapat pula berfungsi menahan banjir yang berasal dari pasang naik laut dan kemungkinan peningkatan paras laut akibat pemanasan global.
            Kedua, mengupayakan air hujan yang berlimpah sebanyak mungkin direspkan kembali (disimpan) kedalam tanah guna memperbesar cadangan air tanah, yang sangat dibutuhkan saat kemarau.  Untuk itu kita harus memperbaiki dan memperluas daerah resapan air berupa taman, hutan kota serta wujud ruang terbuka hijau lainnya.  Danau-danau baru juga perlu dibangun sembari merevitalisasi puluhan danau dan situ yang kondisinya sudah parah akibat pembangunan perumahan, mal-mal, perkantoran, dan aktivitas manusia lainnya secara tak terkendali.  Saat ini luas keseluruhan daerah resapan air kurang dari 10% dari luas total wilayah DKI Jakarta.  Padahal menurut kaidah ekologis yang benar, agar sebuah kota menjadi asri dan nyaman serta terhindar dari bahaya banjir, luas daerah resapan air minimal 30% dari luas total wilayah kota tersebut (Odum, 1976; Clark, 1992; dan Short, 2006). Saatnya kini pemerintah mewajibkan pembangunan satu sumur resapan untuk setiap rumah. Selain itu, RTRW DKI Jakarta 2000-2010 yang ’membolehkan’ konversi ruang terbuka hijau dan daerah resapan air menjadi kawasan industri, bisnis, mal-mal, dan peruntukan pembangunan lainnya harus tahun ini juga diperbaiki agar secara eksplisit menetapkan 30% dari luas wilayah DKI dialokasikan untuk daerah resapan air, daerah hijau, dan fungsi lindung lainnya.
Selain memperluas daerah resapan air, gagasan membangun penampungan air bawah tanah berskala besar (deep tunnel reservoir) seperti di Chicago dan Singapura yang dapat menyimpan sekitar 200 juta m3 air dan bertahan sampai 125 tahun patut pula dipertimbangkan.  Prinsipnya penampungan air bawah tanah ini adalah semacam bendungan bawah tanah untuk menyimpan seluruh limpahan air banjir dan limbah cair dari sanitasi lingkungan kota Jakarta.  Selanjutnya, air ini bisa diolah dan dimanfaatkan sebagai cadangan air baku.  Pilihan teknologi ini menarik, karena selain membantu mengatasi masalah banjir, juga dapat memasok air saat musim kering (El-Nino) yang dalam sepuluh tahun terakhir sering melanda tanah air, tak terkecuali Jakarta. 
Ketiga, memperlancar aliran air dari permukaan tanah (darat) yang terbuka ke saluran-saluran drainase, sungai-sungai, dan akhirnya ke laut.  Karena hampir semua saluran drainase dan ketiga belas sungai yang mengaliri DKI Jakarta telah mengalami penyempitan dan penyumbatan oleh bangunan liar di sepanjang sempadan sungai, sampah, dan sedimentasi; maka pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama secara ikhlas dan penuh disiplin untuk mulai sekarang meniadakan bangunan di sepanjang bantaran sungai sesuai kaidah konservasi, membersihkan sampah dan sedimen dari badan sungai dan kanal-kanal.  Kedepan kita seluruh warga Jakarta tidak boleh lagi mendirikan bangunan di sepanjang sempadan sungai dan kanal-kanal serta tidak lagi membuang sampah sembarangan.  Lebih dari itu, karena sistem drainase Jakarta sebagian besar merupakan warisan Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, sudah saatnya kita menata ulang sistem drainase sesuai dengan kondisi saat ini serta dinamika kependudukan, pembangunan, dan alam di masa mendatang.
Fungsi daerah hulu ketigabelas sungai yang mengaliri Jakarta (utamanya S. Ciliwung) untuk meresapkan/menyimpan air saat hujan dan mengeluarkannya saat kemarau sudah sangat menurun, mungkin kurang dari 25% dari kapasitas aslinya.  Ini tercermin dari fluktuasi debit S. Ciliwung yang sangat besar antara musim penghujan dan kemarau.  Penyebab utamanya adalah kurangnya luasan kawasan lindung dan daerah hijau yang berkualitas atau pepohonanya cukup padat.  Sebagian besar kawasan lindung dan daerah hijau di sepanjang hulu S. Ciliwung (Bopunjur) telah dikonversi menjadi perumahan, vila, kawasan industri, pertanian, dan peruntukan lainnya.  Pada tahun 1992 kawasan terbangun di Daerah Tangkapan Air (Catchment Area) hulu S. Ciliwung hanya 101.363 ha, kemudian pada 2006 naik dua kali lipat lebih menjadi 225.171 ha.  Sementara, kawasan tidak terbangun yang pada 1992 seluas 665.035 ha berkurang menjadi 541.227 ha (LAPAN, 2006).  Akibatnya, air hujan yang seharusnya diresapkan kedalam tanah melalui sistem canopy dan perakaran pepohonan, semak-belukar, dan lainnya dari ekosistem hutan dan kawasan hijau, justru langsung mengalir ke badan sungai. Sehingga, terjadi banjir, erosi dan sedimentasi, dan tanah longsor.  Oleh sebab itu, kita harus secara konsisten segera memperluas areal kawasan lindung atau daerah hijau di daerah hulu menurut RTRW yang benar, idealnya 40% dari luas total Daerah Tangkapan Air. Penghijaun kembali atau reboisasi daerah hulu S. Ciliwung juga tidak bisa ditawar lagi.  
Selain pendekatan konservasin hayati seperti di atas, mencegah banjir kiriman dari hulu perlu dibarengi dengan pendekatan fisik ramah lingkungan yakni dengan membangun waduk-waduk dan kolam-kolam penampung (retarding basins) di kanan-kiri S. Ciliwung mulai dari Ciawi sampai sebelum masuk wilayah DKI Jaya.  Prinsip kerja pendekatan ini adalah menghadang aliran air dari hulu saat banjir, kemudian mengalirkannya ke dalam retarding basins, sebelum masuk ke wilayah yang hendak diselamtakan (Jakarta).  Air banjir tersebut disimpan dalam retarding basins selama musim penghujan, dan dikeluarkan pada musim kemarau.  Selain sebagai sumber air baku dan keperluan manusia lainnya, pelepasan air dari retarding basins saat kemarau juga dapat berfungsi untuk penggelontoran sungai-sungai dan saluran drainase.  Sementara itu, retarding basins berupa waduk-waduk dan kolam juga bisa dimanfaatkan untuk tempat rekreasi dan pariwisata alam berupa pemancingan (sport fishing), dayung, berperahu, dan olah raga air lainnya serta menikmati keindahan panorama.
Persoalannya adalah bahwa membangun kawasan lindung dan daerah hijau serta retarding basins bagi kebanyakan masyarakat dan Pemda daerah hulu (Bogor dan Cianjur) dianggap merugikan ekonomi mereka.  Buat mereka kawasan lindung, daerah hijau, dan areal untuk retarding basins berarti mengurangi luasan lahan untuk industri, pertanian, perumahan, prasarana dan sarana pembangunan, dan aktivitas ekonomi lainnya.  Kebuntuan ini dapat diatasi melalui transfer keuntungan dari Pemda DKI Jaya kepada Pemda Bogor dan Cianjur karena keduanya seakan berkorban untuk menyisihkan areal lahan bagi konservasi yang dapat mengurangi risiko banjir Jakarta.  Cara ini membuahkan hasil yang memuaskan dalam pengendalian banjir Sungai Rhine di Eropa, S. Misisipi di Amerika Serikat, dan S. Saint Lawrence di Kanada.  Berapa besarnya dana (benefit transfer) dari Pemda DKI kepada Pemda Bogor dan Cianjur dapat dihitung dengan menggunakan teknik Economic Valuation (Valuasi Ekonomi).
            Guna mengantisipasi risiko banjir dan persoalan lingkungan lainnya yang berdampak pada ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Jakarta dan nasional, perlu segera dikaji daya dukung ekologis DKI Jakarta.  Jangan-jangan daya dukung ekologis Ibu Kota Negara kita hanya untuk 8 juta orang.  Sedangkan jumlah penduduk Jakarta saat ini sekitar 12 juta orang.  Banjir, sampah, kekurangan air bersih (PD. PAM Jaya hanya mampu memasok 30% total kebutuhan air bersih), buruknya kualitas udara dan sanitasi lingkungan sebenarnay merupakan lonceng ekologis (ecological signals) betapa daya dukung ekologis Jakarta telah terlampaui.

Pendekatan spiritual
            Semua solusi teknis di atas memerlukan sikap kepedulian dan semangat berbagi (care and share) antar sesama warga, pemimpin, aparat pemerintah, pengusaha, dan komponen bangsa lainnya.  Para pemimpin, elit politik, dan jajaran birokrasi pemerintahan  harus bekerja lebih ikhlas dan serius, jangan hanya mengejar popularitas, di dalam menuntaskan masalah banjir.  Para pengusaha mesti mentaati RTRW dengan tidak memaksa (menyogok aparat) untuk mengubah status daerah resapan air atau daerah hijau menjadi kawasan industri, perumahan, mal, dan lainnya.  Masyarakat tidak lagi membangun rumah atau bangunan lainnya di sepanjang sempadan sungai dan kawasan konservasi lainnya dan tidak membuang sampah sembarangan.  Masyarakat dan Pemda Bogor serta Cianjur hendaknya secara ikhlas memperluas kawasan lindung dan daerah hijau serta, khususnya  di Daerah Tangkapan Air Ciliwung, dan mengizinkan pembangunan retarding basins.  Sikap peduli dan semangat berbagi semacam ini hanya mungkin tumbuh-kembang dalam jiwa seorang yang memiliki keimanan bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, sedangkan kehidupan yang abadi (eternal) adalah akhirat.  Bila kita ingin hidup bahagia dunia dan akhirat, maka kita harus beriman kepada Allah swt dan menanm kebaikan, termasuk sikap care and share terhadap sesama.
            Akhirnya, mari kita sikapi bencana banjir secara proporsional dengan melakukan introspeksi (muhasabah); melakukan taubatan nasuha atas segala dosa, maksiat, korupsi, malas, tidak peduli dengan sesama, hanya ingin cari popularitas, dan kesalahan lainnya; dan segera bangkit dari perilaku saling menyalahkan dan kesedihan untuk memperbaiki segenap kerusakan akibat banjir serta mengimplentasikan seganp solusi teknik terpadu untuk secara tuntas mengatasi banjir Jakarta.


[1] Guru Besar Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB; Ketua Umum Sarjana Oseanologi Indonesia; dan Ketua Bidang Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Lingkungan Hidup- Dewan Pakar ICMI

0 komentar:

Popular Posts